A.
Pembedaan Monarki dan Republik
Dalam buku “Il Principe”,
Niccolo Machiavelli mengatakan bahwa bentuk negara hanya ada dua, yaitu republik
dan monarki. Ia mengartikan negara sebagai bentuk genus sedangkan
monarki dan republik sebagai bentuk species.
Sama seperti Machiavelli, Georg
Jellinek, dalam bukunya, “Allgemeine Staatslehre” juga membedakan bentuk
negara menjadi monarki dan republik dan bentuk ini dianggap sebagai bentuk species
dari negara. Pembedaan dalam kedua bentuk itu didasarkan atas perbedaan
terjadinya pembentukan kemauan negara itu hanya ada dua kemungkinan, yaitu:
1. Apabila cara terjadinya
pembentukan kemauan negara itu semata-mata secara psikologis atau secara
alamiah, yang terjadi dalam jiwa atau badan seseorang dan tampak sebagai
kemauan seseorang atau individu, maka bentuk negaranya adalah monarki.
2. Apabila cara terjadinya
pembentukan negara secara yuridis, yaitu dibuat atas kemauan orang banyak
sehingga terlihat seperti kemauan dewan, maka bentuk negaranya adalah republik.
Sementara itu, Leon Duguit
sebagai seorang realis tidak setuju dengan penggunaan staatswill sebagai
ukuran untuk menentukan bentuk negara. Dalam bukunya “Traite de Droit
Constitutionel”, ia mengutarakan bahwa untuk menentukan sebuah negara
berbentuk monarki atau republik ialah dengan menggunakan cara
penunjukan/pengangkatan kepala negaranya. Bila kepala negara diangkat
berdasarkan garis keturunan, maka negara tersebut adalah monarki sedangkan bila
diangkat tidak atas dasar keturunan maka bentuknya ialah republik.
Sebenarnya Duguit mengatakan
kedua bentuk di atas sebagai bentuk pemerintahan, hal ini tidak lazim karena
tidak sesuai dengan Hukum Tata Negara. Lazimnya, istilah bentuk pemerintahan
digunakan untuk menentukan lebih lanjut perbedaan dari bentuk negara, yaitu
mengenai perbedaan sistem Hukum Tata Negaranya. Duguit sendiri membagi bentuk
negara menjadi dua, yaitu negara serikat dan negara kesatuan.
Menurut Kranenburg, ukuran yang
digunakan oleh Duguit ini lebih realistis, akan tetapi dalam bentuk-bentuk
tertentu masih ada kelainan atau ketidakcocokan. Misalnya, pada Kerajaan
Polandia ternyata raja diangkat berdasarkan pemilihan dan bukan semata-mata
atas dasar keturunan.
Prof. Otto Koellreuter setuju
dengan pendapat Duguit tentang pembagian bentuk negara dalam bentuk monarki dan
republik. Di samping itu, sebagai seorang fasis Jerman, ia menambahkan bentuk
yang ketiga yang ia namakan autoritaren fuhrerstaat”.
Dewasa ini, monarki adalah suatu
negara yang diperintah oleh suatu dinasti sehingga kepala negaranya diangkat
secara turun-temurun. Oleh karena itu, ia beranggapan bahwa dasar dari monarki
adalah ketidaksamaan. Hal ini disebabkan oleh tidak setiap orang dapat menjadi
kepala negara. Sebaliknya, republik didasarkan atas azas kesamaan karena kepala
negaranya diangkat berdasarkan kemauan orang banyak dan setiap orang memiliki
hak yang sama untuk menjadi kepala negara.
Untuk bentuk negara yang ketiga, autoritaren
fuhrerstaat, kepala negara tidak lagi diangkat atas dasar dinasti melainkan
atas dasar pikiran yang dapat berkuasa yang ia sebut sebagai der gedanken
der staatsautoritat. Sama halnya dengan bentuk monarki, bentuk ini juga
didasarkan atas azas ketidaksamaan. Akan tetapi, berbeda dengan monarki yang
berpangkal pada keturunan, bentuk autoritaren fuhrerstaat berpangkal
pada pikiran yang dapat menguasai negara. Koellreuter tidak menjelaskan lebih
lanjut mengapa seorang yang mempunyai pikiran yang dapat berkuasa atau der
gedanken der staatsautoritat dapat diangkat menjadi kepala negara. Ia hanya
mengatakan bahwa bentuk-bentuk politik dari pimpinan tertinggi negara nasional
sosialis dalam banyak hal seharusnya berlainan dengan bentukbentuk dalam negara
liberal.
B.
Pembagian Tiga Bentuk: Monarki, Oligarki, dan Demokrasi
Yang digunakan sebagai ukuran
pada teori ini adalah jumlah orang yang diserahkan kekuasaan untuk memelihara
kepentingan umum dan membuat peraturan mengenai hal-hal tersebut. Dengan kata
lain, ukurannya adalah jumlah orang yang memegang tampuk pemerintahan (teori
kuantitas). Pembagian tersebut adalah:
1. Monarki apabila yang
memerintah hanya satu orang.
2. Oligarki apabila yang
memerintah terdiri dari beberapa orang.
3. Demokrasi apabila yang
memerintah adalah orang banyak/rakyat.
Pembagian tiga bentuk negara ini
sebenarnya dibuat oleh Herodotus, namun, yang mengemukakan pertama kali adalah
Aristoteles. Selain itu, Aristoteles juga mengembangkan teori kualitas yang
merupakan pemerosotan bentuk negara ditinjau dari sudut kualitas orang yang
memerintah. Artinya, apakah ia memerintah untuk kepentingan umum atau untuk
kepentingan sendiri/kelompok. Bentuk-bentuk tersebut adalah:
1. Monarki, yaitu
pemerintahan yang dilaksanakan oleh satu orang untuk kepentingan rakyat.
Apabila orang yang memerintah kemudian melaksanakan pemerintahan untuk
kepentingan dirinya sendiri, maka bentuknya berubah menjadi tirani/diktatur.
2. Aristokrasi, yaitu
pemerintahan yang dilaksanakan oleh sekelompok cendekiawan untuk kepentingan
rakyat. Apabila kelompok tersebut melaksanakan pemerintahan untuk kepentingan
golongannya, maka bentuknya merosot menjadi oligarki.
3. Politeia, yaitu
pemerintahan oleh seluruh orang untuk kepentingan seluruh rakyat. Apabila
pemerintahan dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak memahami masalah pemerintahan,
maka bentuk ini akan merosot menjadi demokrasi.
Polybios, seorang ahli negara
dari Yunani, mendasarkan teorinya yang berisi tentang perkembangan bentuk
negara atas azas sebab akibat. Ia menguraikan proses pertumbuhan dan
musnah/lenyapnya bentuk negara secara psikologis. Dan perkembangan bentuk
negara yang satu ke bentuk negara yang lain merupakan
suatu perputaran/siklus. Sama
halnya seperti Aristoteles, Polybios juga mengutarakan tiga bentuk negara ideal
berikut bentuk pemerosotonnya. Bedanya, menurut Polybios, bentuk negara ideal
yang ketiga adalah demokrasi dan bukan politeia. Sedangkan bentuk
pemerosotonnya adalah oklokrasi, yaitu kondisi yang kacau balau yang
diakibatkan oleh tidak berhasilnya para wakil rakyat dalam melaksanakan
tugasnya karena kurang memperhatikan kepentingan umum.
C.
Tipe-tipe Demokrasi Modern
Demokrasi dapat dibedakan dalam
tiga tipe dengan ukurannya adalah hubungan antar organ negara. Tiga tipe
tersebut adalah:
1.
Demokrasi dengan sistem parlementer.
Pada awalnya, tujuan digunakannya
sistem parlementer adalah untuk mempertahankan bentuk kerajaan/monarki di
negara Inggris dalam suasana bertambah kuatnya kekuasaan rakyat. Caranya adalah
membuat sistem pemerintahan di mana raja tidak dapat diganggu gugat dan peran menteri
yang bertanggung jawab pada parlemen dalam melaksanakan pemerintahan. Dengan
demikian terdapat hubungan yang erat antara lembaga eksekutif dan legislatif
dan adanya saling ketergantungan satu sama lain.
2.
Demokrasi dengan pemisahan kekuasaan.
Bentuk ini terutama sekali
diterapkan di Amerika Serikat di mana badan eksekutif secara tegas dipisahkan
dari badan legislatif dan badan yudikatif. Presiden dalam hal ini mempunyai
kekuasaan yang sama sekali terpisah dan tidak dapat mempengaruhi sistem kerja
dari lembaga legislatif dan yudikatif. Dalam sistem ini, yang merupakan
kelanjutan dari teori Trias Politica Montesquieu, ketiga lembaga tinggi
negara tersebut mempunyai kekuasaan yang sama kuat, maka dalam pelaksanaannya
sulit untuk berjalan bersama dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, dibuat
suatu sistem untuk menciptakan keseimbangan antara ketiga
kekuasaan yang ada, yang disebut
sistem check and balance. Pada sistem ini, Presiden Amerika Serikat
mempunyai hak veto terhadap suatu rancangan undang-undang yang telah diterima
oleh Kongres. Sebaliknya, Kongres juga dapat melakukan impeachment terhadap
Presiden apabila terjadi penyimpangan. Untuk kekuasaan yudikatif, seorang Hakim
Agung diangkat oleh Kongres dari calon yang diajukan oleh Presiden. Selain itu,
Mahkamah Agung juga mempunyai hak menguji secara material (judicial review)
terhadap suatu undang-undang dan menyatakan tidak sah apabila undang undang
tersebut bertentangan dengan konstitusi.
3.
Demokrasi dengan pengawasan langsung oleh rakyat.
Dalam bentuk ini, badan
legislatif tunduk pada pengawasan atau control dari rakyat. Pengawasan rakyat
dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dengan inisiatif rakyat dan dengan
referendum. Inisiatif rakyat merupakan hak rakyat untuk mengajukan atau mengusulkan
suatu rancangan undang-undang pada lembaga legislatif dan eksekutif.
Sedangkan referendum adalah
meminta persetujuan atas pendapat rakyat mengenai suatu kebijaksanaan yang
telah, sedang, atau akan dilaksanakan oleh badan legislatif dan eksekutif. Referendum
terbagi atas tiga macam, yaitu:
a. referendum obligatoir,
yaitu referendum terhadap suatu undangundang yang materinya menyangkut hak-hak
rakyat sehingga wajib meminta persetujuan rakyat sebelum undang-undang tersebut
diberlakukan.
b. referendum fakultatif,
yaitu referendum terhadap undang-undang yang sudah berlaku dalam waktu
tertentu.
c. referendum konsultatif,
yaitu referendum yang berkaitan dengan masalah teknis suatu negara.
Pemilihan umum, yang merupakan
perwujudan kedaulatan rakyat dalam sebuah negara republik demokrasi memiliki
beberapa sistem, yaitu:
1. Sistem distrik,
merupakan sistem pemilihan di mana negara terbagi dalam daerah-daerah bagian.
Di dalam badan perwakilan rakyat, setiap distrik diwakili oleh seorang atau
beberapa orang anggota yang jumlahnya sama dari semua distrik. Kelebihan dari
sistem ini adalah, rakyat mengenal wakilnya dengan baik, begitu pun sebaliknya,
dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara wakil dengan daerah yang
diwakilinya. Sedangkan kekurangannya adalah, suara minoritas akan hilang karena
hanya yang mendapat suara mayoritaslah yang akan mewakili daerahnya.
2. Sistem proporsional,
merupakan sistem berdasarkan presentase pada kursi parlemen yang akan dibagikan
kepada partai politik peserta pemilihan umum, dengan kata lain, partai politik
akan memperoleh jumlah kursi sesuai dengan jumlah suara pemilih yang diperoleh
di seluruh wilayah negara. Kebaikan sistem ini adalah, semua partai terwakili
sehingga lebih demokratis. Selain itu, pada sistem ini, pemilihan juga
dilaksanakan secara nasional, tidak dilakukan per daerah. Badan perwakilan
benar-benar menjadi wadah aspirasi seluruh rakyat bagi negara yang menggunakan
sistem ini. Namun, keburukannya adalah, pemimpin partai sangat menentukan siapa
saja yang akan duduk di dalam parlemen untuk mewakili partainya. Di samping
itu, wakil daerah juga tidak mengenal daerah pemilihannya secara dekat.
3. Sistem gabungan,
merupakan penggabungan dua sistem sebelumnya.
Pada sistem ini, negara dibagi
dalam beberapa daerah pemilihan, sisa suara yang bukan mayoritas tidak hilang
begitu saja karena diperhitungkan dengan jumlah kursi yang akan dibagi.
BAB III
PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM DI
INDONESIA
A. Undang-undang Dasar 1945
Negara Republik Indonesia
merupakan sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik dan menjalankan
pemerintahan dalam bentuk demokrasi. Dalam pokok pikiran ketiga Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 terkandung bahwa Negara Republik Indonesia adalah
negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-undang
Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan
perwakilan.
Dalam Undang-undang Dasar 1945
(UUD 1945) dijelaskan bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan,
bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini
bertugas mempersiapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar
haluan negara. MPR juga mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakilnya (Wakil
Presiden). MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, sedangkan
Presiden bertugas menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang
telah ditetapkan oleh MPR. Di sini, peran Presiden adalah sebagai mandataris
MPR, maksudnya Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
hasil Amandemen keempat tahun 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini juga tercantum dalam
Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen kedua tahun 2000 yang berbunyi: “Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.” serta Pasal 22C
UUD 1945 hasil Amandemen ketiga tahun 2001 yang berbunyi: “Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.”
Dalam Pasal 6A UUD 1945 yang
merupakan hasil Amandemen ketiga tahun 2001 dijelaskan mengenai pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden yang lengkapnya berbunyi:
(1) Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari
jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di
setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
UUD 1945 yang merupakan
Konstitusi Negara Republik Indonesia mengatur masalah pemilihan umum dalam Bab
VIIB tentang Pemilihan Umum Pasal 22E sebagai hasil Amandemen ketiga UUD 1945
tahun 2001. Secara lengkap, bunyi Pasal 22E tersebut adalah:
(1) Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undangundang.
B. Undang-undang Pemilihan
Umum
Selain tercantum dalam UUD 1945,
masalah mengenai pemilihan umum juga diuraikan secara sistematis dalam suatu
undang-undang yang disusun secara bersama oleh DPR dan Presiden.
Undang-undang tentang Pemilihan
Umum yang berlaku saat ini adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini merupakan pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diganti
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 karena undang-undang lama tersebut
dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat.
Dijelaskan dalam Undang-undang
(UU) No. 12 Tahun 2003 bahwa perubahan yang terjadi pada UUD 1945 Pasal 2 ayat
(1) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” bermakna bahwa kedaulatan rakyat
tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut UUD.
Berdasarkan perubahan tersebut, seluruh anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih melalui pemilu yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali. Melalui pemilu tersebut akan lahir lembaga perwakilan dan
pemerintahan yang demokratis.
Tujuan dari diselenggarakannya
pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat
dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Pemilu diselenggarakan oleh suatu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi
ini memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam
menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR.
Menurut Pasal 25 UU No. 12 Tahun
2003, tugas dan wewenang KPU adalah:
1. merencanakan penyelenggaraan
KPU.
2. menetapkan organisasi dan tata
cara semua tahapan pelaksanaan pemilu.
3. mengkoordinasikan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilu.
4. menetapkan peserta pemilu.
5. menetapkan daerah pemilihan,
jumlah kursi, dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.
6. menetapkan waktu, tanggal,
tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara.
7. menetapkan hasil pemilu dan
mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.
8. melakukan evaluasi dan
pelaporan pelaksanaan pemilu.
9. melaksanakan tugas dan
kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Dalam Pasal 1 UU No. 12 Tahun
2003 dijelaskan bahwa pemilihan umum (pemilu) adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945.
Peserta pemilu adalah partai
politik untuk calon anggota legislatif dan perseorangan untuk calon anggota DPD
yang telah memenuhi persyaratan sesuai UU No. 12 Tahun 2003.
Sebagai sebuah negara demokrasi,
Indonesia memberikan hak yang sama bagi semua warganya yang memenuhi syarat
untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Menurut Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2003,
untuk dapat didaftar sebagai pemilih dan menggunakan hak memilihnya dalam pemilu,
seorang Warga Negara Indonesia (WNI) harus sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun
atau sudah kawin, tidak sedang terganggu jiwanya, dan tidak sedang dicabut hak
pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Sedangkan untuk menjadi calon
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, menurut Pasal 60 UU
No. 12 Tahun 2003, seorang WNI harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. berumur 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih.
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.
3. berdomisili di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4. cakap berbicara, membaca, dan
menulis dalam bahasa Indonesia.
5. berpendidikan
serendah-rendahnya SLTA atau sederajat.
6. setia kepada Pancasila sebagai
dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
7. bukan bekas anggota Partai
Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat
dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.
8. tidak sedang dicabut hak
pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
9. tidak sedang menjalani pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
10. sehat jasmani dan rohani.
11. terdaftar sebagai pemilih.
Mengenai peserta pemilu dari
partai politik diuraikan dengan jelas dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2003. Sedangkan tata cara tentang peserta pemilu dari
perseorangan diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU No.12 Tahun 2003.
Berkaitan dengan penyelenggaraan
pemilu, DPR bersama Presiden juga menyusun UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik sebagai pengganti UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang
dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan
ketatanegaraan.
Dalam Penjelasan atas UU No. 31
Tahun 2002 diuraikan bahwa pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan partai
politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk
berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Melalui partai politik, rakyat
dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan
masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik merupakan
bagian yang sangat penting dalam sistem politk demokrasi.
Partai politik mempunyai fungsi
sebagai sarana pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, dan
rekrutmen politik. Melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut, partai politik
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat serta merekatkan
berbagai golongan dalam masyarakat demi mendukung persatuan nasional,
mewujudkan keadilan, menegakkan hukum, menghormati hak asasi manusia, dan
menjamin terciptanya stabilitas keamanan.
Pasal 1 UU No. 31 Tahun 2002
mendefinisikan partai politik sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh
sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Secara umum, tujuan partai
politik adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, mengembangkan
kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan
tujuan khususnya adalah memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
BAB IV
PENERAPAN KONSEP KEDAULATAN
RAKYAT PADA PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA
Teori kedaulatan rakyat lahir sebagai
reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan
kesengsaraan bagi rakyat. Jean Jacques Rousseau, Bapak Teori Kedaulatan Rakyat,
melalui buku “Le Contract Social” mengutarakan teori mengenai perjanjian
masyarakat (kontrak sosial) yang menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural
liberty telah berubah menjadi civil liberty di mana rakyat memiliki
hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai hal tertinggi dalam hal ini melalui
perwakilan yang didasarkan pada suara terbanyak. Menurut Rousseau, keputusan
dari suara terbanyak (mayoritas) selalu mewakili kepentingan umum. Namun, pada
kenyataannya, yang didukung oleh suara terbanyak tidak lagi mempersoalkan
kebenaran melainkan mempermasalahkan tentang menang atau kalah.
Sejak awal kemerdekaan, negara
kita telah menerapkan konsep yang terdapat dalam teori kedaulatan rakyat. Mulai
dari pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi sampai pengangkatan Soekarno dan
Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, seluruhnya dilaksanakan
dengan prinsip demokrasi. Walaupun selanjutnya banyak terjadi penyimpangan
dalam sistem pemerintahan, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, tetapi
pada akhirnya, kedaulatan rakyatlah yang menentukan ke mana arah tujuan negara
kita berikutnya.
Dalam sistem pemerintahan Negara
Republik Indonesia, penentuan arah tujuan tersebut melibatkan seluruh warga
negara dalam sebuah pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu). Pemilu di
Indonesia diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali dan pertama kali
dilaksanakan pada tahun 1955. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan
semuanya memberikan pengaruh yang amat besar pada naik turunnya kondisi
pemerintahan negara kita.
Pada tahun 1965, sebuah partai
yang telah menjadi peserta pemilu sejak pemilu pertama, Partai Komunis
Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan dengan tujuan mengganti dasar negara
Indonesia, Pancasila, dengan paham Marxisme- Leninisme. Paham tersebut
merupakan azas yang dianut oleh para anggota PKI.
Pada pemberontakan itu, banyak
jenderal dan perwira tentara yang diculik, disiksa, dan dibunuh. Pemberontakan
itulah yang selanjutnya kita kenal dengan istilah Gerakan 30 September
(G30S/PKI).
Oleh karena adanya peristiwa
G30S/PKI itu, komunis di Indonesia dianggap sebagai bahaya laten yang selalu
mengancam persatuan dan kesatuan nasional.
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) Republik Indonesia menghentikan segala aktivitas yang
berkaitan dengan PKI melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Sejak saat itu pula, partai dengan azas
komunisme dilarang berdiri di Indonesia.
Dalam UU No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik tertuang: “bahwa merupakan kenyataan sejarah bangsa
Indonesia, Partai Komunis Indonesia yang menganut paham atau atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di
Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham/Ajaran
Komunisme/Marxisme- Leninisme harus tetap diberlakukan dan dilaksanakan secara
konsekuen.” 20 Ini berarti WNI tidak berhak mendirikan sebuah partai
politik dengan menggunakan paham komunisme sebagai landasannya karena sudah
jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, pemilu di
Indonesia tidak akan pernah lagi mengikutsertakan partai politik berazas
komunisme sebagai pesertanya.
Kejadian lain yang dapat
dijadikan contoh penyimpangan system ketatanegaraan di Indonesia adalah ketika
Presiden Soekarno membubarkan DPR melalui Dekrit 5 Juli 1959. Padahal, dalam Trias
Politica sudah tergambar dengan jelas bahwa kedudukan lembaga eksekutif
(presiden) tidak lebih tinggi dari pada lembaga legislatif (DPR). Peristiwa
yang terjadi pada masa Orde Baru di saat Presiden Soeharto berkuasa juga
menunjukkan kejanggalan yang luar biasa.
Sebagian anggota MPR—lembaga
tertinggi Negara Republik Indonesia— selain terpilih dari hasil pemilu,
diangkat juga oleh Presiden. Bahkan, Presiden pun dapat mengangkat anggota MPR
untuk dijadikan menteri.
Yang terjadi sekarang justru sangat
berlawanan dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu. Sebagian besar masyarakat
Indonesia sudah menunjukkan antipati yang sangat besar terhadap pemerintah
(eksekutif) karena trauma pada pemerintahan di masa Orde Baru. Hal ini
mengakibatkan rakyat menginginkan dilakukannya pengawasan superketat terhadap
pemerintah, dan wewenang ini dimiliki oleh DPR.
Dalam Pasal 30 dan Pasal 66 UU
No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
dijelaskan bahwa DPR dapat menyandera setiap pejabat negara, pejabat
pemerintah, dan badan hukum yang menolak panggilan paksa karena tidak
memberikan keterangan kepada DPR.
UU No. 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan penyempurnaan dari UU
No. 4 Tahun 1999. Dalam Penjelasan tentang UU No. 22 Tahun 2003 dijelaskan
bahwa undang-undang ini disusun dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung
jawab lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat/daerah untuk mengembangkan
kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara
lembaga legislatif dan eksekutif serta meningkatkan kualitas, produktivitas,dan
kinerja anggota lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat dan daerah demi
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Secara umum, pemilu yang
diselenggarakan pada masa Orde Baru dianggap oleh kebanyakan masyarakat tidak
berlangsung secara demokratis. Berbagai strategi dihalalkan oleh sebuah partai
yang berkuasa pada saat itu untuk terus memenangkan pemilu. Runtuhnya Orde Baru
yang ditandai dengan turunnya Soeharto dari jabatan Presiden, memberikan angin
segar di tengah masyarakat yang sedang haus akan pendidikan politik dan
berhasrat untuk belajar berdemokrasi.
Pemilu 1999 merupakan pemilu
pertama di Indonesia yang dianggap dunia internasional sebagai yang paling
demokratis. Dengan menambahkan azas jujur dan adil (jurdil) di belakang
langsung, umum, bebas, rahasia (luber), pemilu 1999 untuk pertama kalinya
diselenggarakan oleh lembaga independen bernama KPU.
Pelaksanaannya pun sangat terbuka
di bawah pengawasan dari berbagai lembaga pengawas independen, baik lokal
maupun asing. Perubahan positif juga terjadi pada susunan dan kedudukan lembaga
legislatif dan eksekutif. Kini, Presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR
karena Presiden beserta wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga peran
lembaga legislatif hanya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan pemerintahan.
Pemilu 2004, yang sebentar lagi
akan kita jelang, menggunakan sistem yang sama dengan pemilu sebelumnya, yaitu
multipartai. Hanya bedanya, pada pemilu kali ini menggunakan dua sistem
sekaligus secara setengah-setengah, sistem distrik untuk pemilihan anggota DPD,
dan sistem proporsional untuk pemilihan anggota DPR. Walaupun agak ganjil dalam
penggunaan dua sistem sekaligus ini, tetapi ini merupakan hal yang lumrah bagi
sebuah negara yang masyarakatnya sedang berada dalam tahap belajar
berdemokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar