TEORI BENTUK PEMERINTAHAN DAN BENTUK NEGARA



A.      Pembedaan Monarki dan Republik
Dalam buku “Il Principe”, Niccolo Machiavelli mengatakan bahwa bentuk negara hanya ada dua, yaitu republik dan monarki. Ia mengartikan negara sebagai bentuk genus sedangkan monarki dan republik sebagai bentuk species.
Sama seperti Machiavelli, Georg Jellinek, dalam bukunya, “Allgemeine Staatslehre” juga membedakan bentuk negara menjadi monarki dan republik dan bentuk ini dianggap sebagai bentuk species dari negara. Pembedaan dalam kedua bentuk itu didasarkan atas perbedaan terjadinya pembentukan kemauan negara itu hanya ada dua kemungkinan, yaitu:
1. Apabila cara terjadinya pembentukan kemauan negara itu semata-mata secara psikologis atau secara alamiah, yang terjadi dalam jiwa atau badan seseorang dan tampak sebagai kemauan seseorang atau individu, maka bentuk negaranya adalah monarki.
2. Apabila cara terjadinya pembentukan negara secara yuridis, yaitu dibuat atas kemauan orang banyak sehingga terlihat seperti kemauan dewan, maka bentuk negaranya adalah republik.
Sementara itu, Leon Duguit sebagai seorang realis tidak setuju dengan penggunaan staatswill sebagai ukuran untuk menentukan bentuk negara. Dalam bukunya “Traite de Droit Constitutionel”, ia mengutarakan bahwa untuk menentukan sebuah negara berbentuk monarki atau republik ialah dengan menggunakan cara penunjukan/pengangkatan kepala negaranya. Bila kepala negara diangkat berdasarkan garis keturunan, maka negara tersebut adalah monarki sedangkan bila diangkat tidak atas dasar keturunan maka bentuknya ialah republik.
Sebenarnya Duguit mengatakan kedua bentuk di atas sebagai bentuk pemerintahan, hal ini tidak lazim karena tidak sesuai dengan Hukum Tata Negara. Lazimnya, istilah bentuk pemerintahan digunakan untuk menentukan lebih lanjut perbedaan dari bentuk negara, yaitu mengenai perbedaan sistem Hukum Tata Negaranya. Duguit sendiri membagi bentuk negara menjadi dua, yaitu negara serikat dan negara kesatuan.
Menurut Kranenburg, ukuran yang digunakan oleh Duguit ini lebih realistis, akan tetapi dalam bentuk-bentuk tertentu masih ada kelainan atau ketidakcocokan. Misalnya, pada Kerajaan Polandia ternyata raja diangkat berdasarkan pemilihan dan bukan semata-mata atas dasar keturunan.
Prof. Otto Koellreuter setuju dengan pendapat Duguit tentang pembagian bentuk negara dalam bentuk monarki dan republik. Di samping itu, sebagai seorang fasis Jerman, ia menambahkan bentuk yang ketiga yang ia namakan autoritaren fuhrerstaat”.
Dewasa ini, monarki adalah suatu negara yang diperintah oleh suatu dinasti sehingga kepala negaranya diangkat secara turun-temurun. Oleh karena itu, ia beranggapan bahwa dasar dari monarki adalah ketidaksamaan. Hal ini disebabkan oleh tidak setiap orang dapat menjadi kepala negara. Sebaliknya, republik didasarkan atas azas kesamaan karena kepala negaranya diangkat berdasarkan kemauan orang banyak dan setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi kepala negara.
Untuk bentuk negara yang ketiga, autoritaren fuhrerstaat, kepala negara tidak lagi diangkat atas dasar dinasti melainkan atas dasar pikiran yang dapat berkuasa yang ia sebut sebagai der gedanken der staatsautoritat. Sama halnya dengan bentuk monarki, bentuk ini juga didasarkan atas azas ketidaksamaan. Akan tetapi, berbeda dengan monarki yang berpangkal pada keturunan, bentuk autoritaren fuhrerstaat berpangkal pada pikiran yang dapat menguasai negara. Koellreuter tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa seorang yang mempunyai pikiran yang dapat berkuasa atau der gedanken der staatsautoritat dapat diangkat menjadi kepala negara. Ia hanya mengatakan bahwa bentuk-bentuk politik dari pimpinan tertinggi negara nasional sosialis dalam banyak hal seharusnya berlainan dengan bentukbentuk dalam negara liberal.
B.      Pembagian Tiga Bentuk: Monarki, Oligarki, dan Demokrasi
Yang digunakan sebagai ukuran pada teori ini adalah jumlah orang yang diserahkan kekuasaan untuk memelihara kepentingan umum dan membuat peraturan mengenai hal-hal tersebut. Dengan kata lain, ukurannya adalah jumlah orang yang memegang tampuk pemerintahan (teori kuantitas). Pembagian tersebut adalah:
1. Monarki apabila yang memerintah hanya satu orang.
2. Oligarki apabila yang memerintah terdiri dari beberapa orang.
3. Demokrasi apabila yang memerintah adalah orang banyak/rakyat.
Pembagian tiga bentuk negara ini sebenarnya dibuat oleh Herodotus, namun, yang mengemukakan pertama kali adalah Aristoteles. Selain itu, Aristoteles juga mengembangkan teori kualitas yang merupakan pemerosotan bentuk negara ditinjau dari sudut kualitas orang yang memerintah. Artinya, apakah ia memerintah untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan sendiri/kelompok. Bentuk-bentuk tersebut adalah:
1. Monarki, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh satu orang untuk kepentingan rakyat. Apabila orang yang memerintah kemudian melaksanakan pemerintahan untuk kepentingan dirinya sendiri, maka bentuknya berubah menjadi tirani/diktatur.
2. Aristokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh sekelompok cendekiawan untuk kepentingan rakyat. Apabila kelompok tersebut melaksanakan pemerintahan untuk kepentingan golongannya, maka bentuknya merosot menjadi oligarki.
3. Politeia, yaitu pemerintahan oleh seluruh orang untuk kepentingan seluruh rakyat. Apabila pemerintahan dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak memahami masalah pemerintahan, maka bentuk ini akan merosot menjadi demokrasi.
Polybios, seorang ahli negara dari Yunani, mendasarkan teorinya yang berisi tentang perkembangan bentuk negara atas azas sebab akibat. Ia menguraikan proses pertumbuhan dan musnah/lenyapnya bentuk negara secara psikologis. Dan perkembangan bentuk negara yang satu ke bentuk negara yang lain merupakan
suatu perputaran/siklus. Sama halnya seperti Aristoteles, Polybios juga mengutarakan tiga bentuk negara ideal berikut bentuk pemerosotonnya. Bedanya, menurut Polybios, bentuk negara ideal yang ketiga adalah demokrasi dan bukan politeia. Sedangkan bentuk pemerosotonnya adalah oklokrasi, yaitu kondisi yang kacau balau yang diakibatkan oleh tidak berhasilnya para wakil rakyat dalam melaksanakan tugasnya karena kurang memperhatikan kepentingan umum.
C.      Tipe-tipe Demokrasi Modern
Demokrasi dapat dibedakan dalam tiga tipe dengan ukurannya adalah hubungan antar organ negara. Tiga tipe tersebut adalah:
1.       Demokrasi dengan sistem parlementer.
Pada awalnya, tujuan digunakannya sistem parlementer adalah untuk mempertahankan bentuk kerajaan/monarki di negara Inggris dalam suasana bertambah kuatnya kekuasaan rakyat. Caranya adalah membuat sistem pemerintahan di mana raja tidak dapat diganggu gugat dan peran menteri yang bertanggung jawab pada parlemen dalam melaksanakan pemerintahan. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara lembaga eksekutif dan legislatif dan adanya saling ketergantungan satu sama lain.
2.       Demokrasi dengan pemisahan kekuasaan.
Bentuk ini terutama sekali diterapkan di Amerika Serikat di mana badan eksekutif secara tegas dipisahkan dari badan legislatif dan badan yudikatif. Presiden dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sama sekali terpisah dan tidak dapat mempengaruhi sistem kerja dari lembaga legislatif dan yudikatif. Dalam sistem ini, yang merupakan kelanjutan dari teori Trias Politica Montesquieu, ketiga lembaga tinggi negara tersebut mempunyai kekuasaan yang sama kuat, maka dalam pelaksanaannya sulit untuk berjalan bersama dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, dibuat suatu sistem untuk menciptakan keseimbangan antara ketiga
kekuasaan yang ada, yang disebut sistem check and balance. Pada sistem ini, Presiden Amerika Serikat mempunyai hak veto terhadap suatu rancangan undang-undang yang telah diterima oleh Kongres. Sebaliknya, Kongres juga dapat melakukan impeachment terhadap Presiden apabila terjadi penyimpangan. Untuk kekuasaan yudikatif, seorang Hakim Agung diangkat oleh Kongres dari calon yang diajukan oleh Presiden. Selain itu, Mahkamah Agung juga mempunyai hak menguji secara material (judicial review) terhadap suatu undang-undang dan menyatakan tidak sah apabila undang undang tersebut bertentangan dengan konstitusi.
3.       Demokrasi dengan pengawasan langsung oleh rakyat.
Dalam bentuk ini, badan legislatif tunduk pada pengawasan atau control dari rakyat. Pengawasan rakyat dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dengan inisiatif rakyat dan dengan referendum. Inisiatif rakyat merupakan hak rakyat untuk mengajukan atau mengusulkan suatu rancangan undang-undang pada lembaga legislatif dan eksekutif.
Sedangkan referendum adalah meminta persetujuan atas pendapat rakyat mengenai suatu kebijaksanaan yang telah, sedang, atau akan dilaksanakan oleh badan legislatif dan eksekutif. Referendum terbagi atas tiga macam, yaitu:
a. referendum obligatoir, yaitu referendum terhadap suatu undangundang yang materinya menyangkut hak-hak rakyat sehingga wajib meminta persetujuan rakyat sebelum undang-undang tersebut diberlakukan.
b. referendum fakultatif, yaitu referendum terhadap undang-undang yang sudah berlaku dalam waktu tertentu.
c. referendum konsultatif, yaitu referendum yang berkaitan dengan masalah teknis suatu negara.
Pemilihan umum, yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam sebuah negara republik demokrasi memiliki beberapa sistem, yaitu:
1. Sistem distrik, merupakan sistem pemilihan di mana negara terbagi dalam daerah-daerah bagian. Di dalam badan perwakilan rakyat, setiap distrik diwakili oleh seorang atau beberapa orang anggota yang jumlahnya sama dari semua distrik. Kelebihan dari sistem ini adalah, rakyat mengenal wakilnya dengan baik, begitu pun sebaliknya, dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara wakil dengan daerah yang diwakilinya. Sedangkan kekurangannya adalah, suara minoritas akan hilang karena hanya yang mendapat suara mayoritaslah yang akan mewakili daerahnya.
2. Sistem proporsional, merupakan sistem berdasarkan presentase pada kursi parlemen yang akan dibagikan kepada partai politik peserta pemilihan umum, dengan kata lain, partai politik akan memperoleh jumlah kursi sesuai dengan jumlah suara pemilih yang diperoleh di seluruh wilayah negara. Kebaikan sistem ini adalah, semua partai terwakili sehingga lebih demokratis. Selain itu, pada sistem ini, pemilihan juga dilaksanakan secara nasional, tidak dilakukan per daerah. Badan perwakilan benar-benar menjadi wadah aspirasi seluruh rakyat bagi negara yang menggunakan sistem ini. Namun, keburukannya adalah, pemimpin partai sangat menentukan siapa saja yang akan duduk di dalam parlemen untuk mewakili partainya. Di samping itu, wakil daerah juga tidak mengenal daerah pemilihannya secara dekat.
3. Sistem gabungan, merupakan penggabungan dua sistem sebelumnya.
Pada sistem ini, negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan, sisa suara yang bukan mayoritas tidak hilang begitu saja karena diperhitungkan dengan jumlah kursi yang akan dibagi.
BAB III
PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. Undang-undang Dasar 1945
Negara Republik Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik dan menjalankan pemerintahan dalam bentuk demokrasi. Dalam pokok pikiran ketiga Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 terkandung bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dijelaskan bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini bertugas mempersiapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. MPR juga mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakilnya (Wakil Presiden). MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, sedangkan Presiden bertugas menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Di sini, peran Presiden adalah sebagai mandataris MPR, maksudnya Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen keempat tahun 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen kedua tahun 2000 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.” serta Pasal 22C UUD 1945 hasil Amandemen ketiga tahun 2001 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.”
Dalam Pasal 6A UUD 1945 yang merupakan hasil Amandemen ketiga tahun 2001 dijelaskan mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lengkapnya berbunyi:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Republik Indonesia mengatur masalah pemilihan umum dalam Bab VIIB tentang Pemilihan Umum Pasal 22E sebagai hasil Amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001. Secara lengkap, bunyi Pasal 22E tersebut adalah:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undangundang.
B. Undang-undang Pemilihan Umum
Selain tercantum dalam UUD 1945, masalah mengenai pemilihan umum juga diuraikan secara sistematis dalam suatu undang-undang yang disusun secara bersama oleh DPR dan Presiden.
Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang berlaku saat ini adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 karena undang-undang lama tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat.
Dijelaskan dalam Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 2003 bahwa perubahan yang terjadi pada UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut UUD. Berdasarkan perubahan tersebut, seluruh anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih melalui pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Melalui pemilu tersebut akan lahir lembaga perwakilan dan pemerintahan yang demokratis.
Tujuan dari diselenggarakannya pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi ini memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR.
Menurut Pasal 25 UU No. 12 Tahun 2003, tugas dan wewenang KPU adalah:
1. merencanakan penyelenggaraan KPU.
2. menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan pemilu.
3. mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilu.
4. menetapkan peserta pemilu.
5. menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
6. menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara.
7. menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
8. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu.
9. melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Dalam Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pemilihan umum (pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Peserta pemilu adalah partai politik untuk calon anggota legislatif dan perseorangan untuk calon anggota DPD yang telah memenuhi persyaratan sesuai UU No. 12 Tahun 2003.
Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia memberikan hak yang sama bagi semua warganya yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Menurut Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2003, untuk dapat didaftar sebagai pemilih dan menggunakan hak memilihnya dalam pemilu, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) harus sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah kawin, tidak sedang terganggu jiwanya, dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, menurut Pasal 60 UU No. 12 Tahun 2003, seorang WNI harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.
3. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
5. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat.
6. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
7. bukan bekas anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.
8. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
9. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
10. sehat jasmani dan rohani.
11. terdaftar sebagai pemilih.
Mengenai peserta pemilu dari partai politik diuraikan dengan jelas dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2003. Sedangkan tata cara tentang peserta pemilu dari perseorangan diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU No.12 Tahun 2003.
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, DPR bersama Presiden juga menyusun UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sebagai pengganti UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan.
Dalam Penjelasan atas UU No. 31 Tahun 2002 diuraikan bahwa pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem politk demokrasi.
Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik. Melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut, partai politik diharapkan dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat serta merekatkan berbagai golongan dalam masyarakat demi mendukung persatuan nasional, mewujudkan keadilan, menegakkan hukum, menghormati hak asasi manusia, dan menjamin terciptanya stabilitas keamanan.
Pasal 1 UU No. 31 Tahun 2002 mendefinisikan partai politik sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Secara umum, tujuan partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya adalah memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
BAB IV
PENERAPAN KONSEP KEDAULATAN RAKYAT PADA PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA
Teori kedaulatan rakyat lahir sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Jean Jacques Rousseau, Bapak Teori Kedaulatan Rakyat, melalui buku “Le Contract Social” mengutarakan teori mengenai perjanjian masyarakat (kontrak sosial) yang menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty di mana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai hal tertinggi dalam hal ini melalui perwakilan yang didasarkan pada suara terbanyak. Menurut Rousseau, keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) selalu mewakili kepentingan umum. Namun, pada kenyataannya, yang didukung oleh suara terbanyak tidak lagi mempersoalkan kebenaran melainkan mempermasalahkan tentang menang atau kalah.
Sejak awal kemerdekaan, negara kita telah menerapkan konsep yang terdapat dalam teori kedaulatan rakyat. Mulai dari pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi sampai pengangkatan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, seluruhnya dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Walaupun selanjutnya banyak terjadi penyimpangan dalam sistem pemerintahan, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, tetapi pada akhirnya, kedaulatan rakyatlah yang menentukan ke mana arah tujuan negara kita berikutnya.
Dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, penentuan arah tujuan tersebut melibatkan seluruh warga negara dalam sebuah pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu). Pemilu di Indonesia diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali dan pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan semuanya memberikan pengaruh yang amat besar pada naik turunnya kondisi pemerintahan negara kita.
Pada tahun 1965, sebuah partai yang telah menjadi peserta pemilu sejak pemilu pertama, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan dengan tujuan mengganti dasar negara Indonesia, Pancasila, dengan paham Marxisme- Leninisme. Paham tersebut merupakan azas yang dianut oleh para anggota PKI.
Pada pemberontakan itu, banyak jenderal dan perwira tentara yang diculik, disiksa, dan dibunuh. Pemberontakan itulah yang selanjutnya kita kenal dengan istilah Gerakan 30 September (G30S/PKI).
Oleh karena adanya peristiwa G30S/PKI itu, komunis di Indonesia dianggap sebagai bahaya laten yang selalu mengancam persatuan dan kesatuan nasional.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia menghentikan segala aktivitas yang berkaitan dengan PKI melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Sejak saat itu pula, partai dengan azas komunisme dilarang berdiri di Indonesia.
Dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tertuang: “bahwa merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis Indonesia yang menganut paham atau atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham/Ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme harus tetap diberlakukan dan dilaksanakan secara konsekuen.” 20 Ini berarti WNI tidak berhak mendirikan sebuah partai politik dengan menggunakan paham komunisme sebagai landasannya karena sudah jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, pemilu di Indonesia tidak akan pernah lagi mengikutsertakan partai politik berazas komunisme sebagai pesertanya.
Kejadian lain yang dapat dijadikan contoh penyimpangan system ketatanegaraan di Indonesia adalah ketika Presiden Soekarno membubarkan DPR melalui Dekrit 5 Juli 1959. Padahal, dalam Trias Politica sudah tergambar dengan jelas bahwa kedudukan lembaga eksekutif (presiden) tidak lebih tinggi dari pada lembaga legislatif (DPR). Peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru di saat Presiden Soeharto berkuasa juga menunjukkan kejanggalan yang luar biasa.
Sebagian anggota MPR—lembaga tertinggi Negara Republik Indonesia— selain terpilih dari hasil pemilu, diangkat juga oleh Presiden. Bahkan, Presiden pun dapat mengangkat anggota MPR untuk dijadikan menteri.
Yang terjadi sekarang justru sangat berlawanan dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu. Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah menunjukkan antipati yang sangat besar terhadap pemerintah (eksekutif) karena trauma pada pemerintahan di masa Orde Baru. Hal ini mengakibatkan rakyat menginginkan dilakukannya pengawasan superketat terhadap pemerintah, dan wewenang ini dimiliki oleh DPR.
Dalam Pasal 30 dan Pasal 66 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dijelaskan bahwa DPR dapat menyandera setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, dan badan hukum yang menolak panggilan paksa karena tidak memberikan keterangan kepada DPR.
UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan penyempurnaan dari UU No. 4 Tahun 1999. Dalam Penjelasan tentang UU No. 22 Tahun 2003 dijelaskan bahwa undang-undang ini disusun dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat/daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif serta meningkatkan kualitas, produktivitas,dan kinerja anggota lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat dan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Secara umum, pemilu yang diselenggarakan pada masa Orde Baru dianggap oleh kebanyakan masyarakat tidak berlangsung secara demokratis. Berbagai strategi dihalalkan oleh sebuah partai yang berkuasa pada saat itu untuk terus memenangkan pemilu. Runtuhnya Orde Baru yang ditandai dengan turunnya Soeharto dari jabatan Presiden, memberikan angin segar di tengah masyarakat yang sedang haus akan pendidikan politik dan berhasrat untuk belajar berdemokrasi.
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama di Indonesia yang dianggap dunia internasional sebagai yang paling demokratis. Dengan menambahkan azas jujur dan adil (jurdil) di belakang langsung, umum, bebas, rahasia (luber), pemilu 1999 untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh lembaga independen bernama KPU.
Pelaksanaannya pun sangat terbuka di bawah pengawasan dari berbagai lembaga pengawas independen, baik lokal maupun asing. Perubahan positif juga terjadi pada susunan dan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif. Kini, Presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR karena Presiden beserta wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga peran lembaga legislatif hanya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan pemerintahan.
Pemilu 2004, yang sebentar lagi akan kita jelang, menggunakan sistem yang sama dengan pemilu sebelumnya, yaitu multipartai. Hanya bedanya, pada pemilu kali ini menggunakan dua sistem sekaligus secara setengah-setengah, sistem distrik untuk pemilihan anggota DPD, dan sistem proporsional untuk pemilihan anggota DPR. Walaupun agak ganjil dalam penggunaan dua sistem sekaligus ini, tetapi ini merupakan hal yang lumrah bagi sebuah negara yang masyarakatnya sedang berada dalam tahap belajar berdemokrasi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © HASIL FROM MY LIFE