Postmodernisme
adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya.
Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori
yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh
yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme.
Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak.Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak.Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Etimologi
Berdasarkan asau usul
kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme),
yang berkembang setelah (post) modern.[ Istilah ini muncul pertama kali pada tahun
1930 pada bidang seni
oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari moderninsme. Kemudian pada
bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947.
Setelah itu berkembanga dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas
modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.[2]
Setidaknya kita
melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa
postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk
dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir
dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya.
Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya
tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.
Etos
Postmodern
Editorial:
Dear e-Reformed
Netters,
Beberapa waktu yang
lalu saya mendapat bahan tentang Postmodernisme yang berjudul
"POSTMODERNISME; Sebuah Pengenalan" yang ditulis oleh Stanley J.
Grenz. Tulisan yang saya bagikan berikut ini adalah salah satu bagian dari buku
tsb. Mudah-mudahan artikel ini menolong kita untuk mengenal fenomena
Postmodernisme yang sedang terjadi di sekitar kehidupan kita.
In His grace,
Yulia Oen
Yulia Oen
Postmodernisme lahir
di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali
didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang
arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme,
yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi
kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu
dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan
tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada
sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut
Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling
berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan
menandakan kelahiran postmodernisme.
Masyarakat kita
berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan. Seperti proyek bangunan
Pruitt-Igoe, pemikiran dan kebudayaan modernisme sedang hancur
berkeping-keping. Ketika modernisme mati di sekeliling kita, kita sedang
memasuki sebuah era baru - postmodern.
Fenomena postmodern
mencakup banyak dimensi dari masyarakat kontemporer. Pada intinya, Postmodern
adalah suasana intelektual atau "isme"- postmodernisme.
Para ahli saling
berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernism.
Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai
berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang
harmonis, universal, dan konsisten. Mereka menggantikan semua ini dengan sikap
hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan
lokal) serta membuang yang universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada
penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari
modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya,
postmodernisme adalah anti-modern.
Tetapi kata
"postmodern" mencakup lebih dari sekedar suasana intelektual.
Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud dalam banyak dimensi
dari masyarakat kini. Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern
terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, dan drama.
Postmodernisme telah merasuk ke dalam seluruh masyarakat. Kita dapat mencium
pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari video
musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti
spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.
Postmoderisme
menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang
meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.
Postmodernitas menunjuk kepada era yang sedang muncul, era di mana kita hidup,
zaman di mana postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah
era di mana ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - ketika
postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern. Tujuan
kita dalam bab ini adalah melihat dari dekat fenomena postmodern dan memahami
sedikit tentang etos postmodernisme. Apakah tanda-tanda ekspresi budaya dan
dimensi hidup sehari-hari dari "generasi mendatang ini?" Apakah
buktinya bahwa pola pikir baru sedang menyerbu kehidupan masyarakat sekarang
ini?
FENOMENA POSTMODERN
Postmodernisme
menunjuk kepada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang sedang
mendominasi masyarakat kini. Sekonyong-konyong kita sedang berpindah kepada
sebuah era budaya baru, postmodernisme, tetapi kita harus memperinci apa saja
yang tercakup dalam fenomena postmodern.
KESADARAN POSTMODERN
Bukti-bukti awal dari
etos postmodernisme senantiasa negatif. Etos tersebut merupakan penolakan
terhadap pola pikir Pencerahan yang melahirkan modernisme. Kita dapat melacak
etos postmodern di mana-mana dalam masyarakat kita. Yang terpenting,
postmodernisme telah merasuk jiwa dan kesadaran generasi sekarang ini. Ini
merupakan perceraian radikal dengan pola pikir masa lalu.
Kesadaran postmodern
telah melenyapkan optimisme "kemajuan" (progress) dari Pencerahan.
Postmodern tidak mau mengambil sikap optimisme dari masa lalu. Mereka
menumbuhkan sikap pesimisme. Untuk pertama kalinya, anak-anak pada masa kini
berbeda keyakinan dengan orang tuanya. Mereka tidak percaya bahwa dunia akan
menjadi lebih baik. Dari lubang yang besar di lapisan Ozon sampai kepada
kekerasan antar remaja, mereka menyaksikan permasalahan semakin besar. Mereka
tidak lagi percaya kalau manusia dapat menyelesaikan masalahnya dan kehidupan
mereka akan lebih baik daripada orangtua mereka.
Generasi postmodern
yakin bahwa hidup di muka bumi bersifat rawan. Mereka melihat bahwa model
"manusia menguasai alam" dari Francis Bacon harus segera digantikan
dengan sikap kooperatif dengan alam. Masa depan umat manusia sedang di
persimpangan jalan.
Selain sikap pesimis,
orang-orang postmodern mempunyai konsep kebenaran yang berbeda dengan generasi
sebelumnya.
Pemahaman modern
menghubungkan kebenaran dengan rasio sehingga rasio dan logika menjadi tolok
ukur kebenaran. Kaum postmodern meragukan konsep kebenaran universal yang
dibuktikan melalui usaha-usaha rasio. Mereka tidak mau menjadi rasio sebagai
tolok ukur kebenaran. Postmodern mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada rasio.
Mereka menemukan cara-cara nonrasial untuk mencari pengetahuan, yaitu: melalui
emosi dan intuisi.
Keinginan mencari
model kooperatif dan penghargaan kepada cara nonrasional menciptakan sebuah
dimensi holistik bagi kaum postmodern. Postmodern dengan holismenya menolak
cita-cita Pencerahan, individu yang tidak berperasaan, otonom, dan rasional.
Orang-orang postmodern tidak berusaha menjadi individu-individu yang mengatur
dirinya secara penuh, tetapi menjadi pribadi-pribadi "seutuhnya".
Postmodern dengan
holisme-nya mencakup integrasi seluruh dimensi dari kehidupan pribadi -
perasaan, intuisi, dan kognitif. Keutuhan juga mencakup kesadaran akan
lingkungan dari mana kita berasal. Tentu saja area ini mencakup
"alam" (ekosistem). Tetapi ia juga komunitas. Konsep
"keutuhan" postmodernisme mencakup aspek-aspek agama dan kerohanian.
Postmodernisme menegaskan bahwa keberadaan diri dapat dikenal dalam lingkup
ketuhanan.
Karena setiap orang
selalu termasuk dalam konteks komunitas tertentu, maka memahami kebenaran
haruslah bersama-sama. Keyakinan dan pemahaman kita akan kebenaran, berakar
kepada komunitas dimana kita berada. Mereka menolak konsep Pencerahan yang
universal, supra-kultur, dan permanen. Mereka lebih suka melihat kebenaran
sebagai ekspresi dari komunitas tertentu. Mereka yakin bahwa kebenaran adalah
aturan-aturan dasar yang bertujuan bagi kesejahteraan diri dan komunitas
bersama- sama.
Dalam pengertian ini,
kebenaran postmodern berhubungan dengan komunitas. Karena ada banyak komunitas,
pasti ada kebenaran yang berbeda-beda. Banyak kaum postmodern percaya bahwa
keanekaragaman kebenaran ini dapat hidup berdampingan bersama-sama. Kesadaran
postmodern menganut sikap relativisme dan pluralisme.
Tentu saja,
relativisme dan pluralisme bukanlah barang baru. Tetapi jenis pluralisme dan
relativisme dari postmodern ini berbeda. Relatif pluralisme dari modernisme
bersifat individualistik: pilihan dan cita rasa pribadi diagung-agungkan.
Mottonya adalah "setiap orang berhak mengeluarkan pendapat."
Sebaliknya postmodernisme
menekankan kelompok. Kaum postmodern hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang
memadai, dengan bahasa, keyakinan, dan nilai-nilainya tersendiri. Akibatnya
pluralisme dan relativisme postmodern menyempitkan lingkup kebenaran menjadi
"lokal". Suatu kepercayaan dianggap benar hanya dalam konteks
komunitas yang meyakininya.
Karena itu ketika
kaum postmodern memikirkan tentang kebenaran. Mereka tidak terlalu mementingkan
pemikiran yang sistematis atau logis. Apa yang dahulu dianggap tidak cocok,
kaum postmodern dengan tenang mengawinkannya. Mereka mengkombinasikan
sistem-sistem kepercayaan yang dulu dianggap saling berbenturan, Misalnya,
seorang Kristen postmodern percaya kepada doktrin-doktrin gereja sekaligus juga
percaya kepada ajaran non-Kristen seperti reinkarnasi.
Orang-orang
postmodern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka benar dan orang lain
salah. Bagi mereka, masalah keyakinan/kepercayaan adalah masalah konteks
sosial. Mereka menyimpulkan,"Apa yang benar untuk kami, mungkin saja salah
bagi Anda," dan "Apa yang salah bagi kami, mungkin saja benar atau
cocok dalam konteks anda."
KELAHIRAN
POSTMODERNITAS
Sebenarnya
postmodernisme telah mengalami masa-masa inkubasi yang cukup lama. Meskipun
para ahli saling berdebat mengenai siapakah yang pertama kali menggunakan
istilah tersebut, terdapat kesepakatan bahwa istilah tersebut muncul pada suatu
waktu pada tahun 1930-an.
Salah satu pemikir
postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme
adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya
"Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana" (1934), de Onis
memperkenalkan istilah tersebut untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup
modernisme.
Yang lebih sering
dianggap sebagai pencetus istilah tersebut adalah Arnold Toynbee, dengan
bukunya yang terkenal berjudul "Study of History". Toynbee yakin
benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri berubah
pikirannya mengenai awal munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung
atau semenjak tahun 1870-an.
Menurut analisa
Toynbee, era postmodern ditandai dengan berakhirnya dominasi Barat dan semakin
merosotnya individualisme, kapitalisme, dan Kekristenan. Ia mengatakan bahwa
transisi ini terjadi ketika peradaban Barat bergeser ke arah irasionalitas dan
relativisme. Ketika hal ini terjadi, kekuasaan berpindah dari kebudayaan Barat
ke kebudayaan non- Barat dan muncullah kebudayaan dunia pluralis yang baru.
Meskipun istilah ini
muncul pada tahun 1930-an, postmodernisme sebagai sebuah fenomena kultural
belum menjadi sebuah momentum sampai 40 tahun setelahnya. Ia muncul
pertama-tama dalam lingkup kecil masyarakat. Selama tahun 1960-an, suasana yang
menandai postmodernisme sangat menarik bagi para seniman, arsitek, dan pemikir
yang sedang mencari alternatif untuk melawan dominasi kebudayaan modern. Bahkan
beberapa teolog ikut tertarik dengan trend tersebut, antara lain William
Hamilton dan Thomas J.J. Altizer yang "mengundang arwah" Nietzsche
untuk memberitakan matinya Allah. Perkembangan yang beraneka ragam ini membuat
"pengamat kebudayaan" Leslie Fiedler pada tahun 1965 menambahkan
istilah "post" kepada kata modern sehingga menjadi postmodernisme
yang menjadi simbol kontra-kultural pada zaman itu.
Selama tahun 1970-an
tantangan postmodern menembus kepada arus budaya utama. Pada pertengahan tahun
tersebut, muncullah seorang pembela postmodern yang paling konsisten
mempropagandakan ide postmodern, yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan
postmodernisme dengan eksperimentalisme dalam bidang seni dan ultra teknologi
dalam bidang arsitektur.
Tetapi etos
postmodern secara tepat menjalar terus ke bidang-bidang lain. Profesor-profesor
di universitas dalam berbagai fakultas mulai berbicara mengenai postmodernisme.
Bahkan beberapa di antara mereka tenggelam dalam konsep-konsep postmodern.
Akhirnya penerimaan
etos baru begitu menjalar terus ke mana-mana sehingga istilah
"postmodern" menjadi label yang digunakan bagi berbagai fenomena
sosial dan budaya. Gelombang postmodern menyeret berbagai aspek kebudayaan dan
beberapa disiplin ilmu, khususnya sastra, arstektur, film, dan filsafat.
Pada tahun 1980-an,
pergeseran dari lingkup kecil kepada lingkup besar terjadi. Secara bertahap,
suasana postmodern menyerang budaya pop bahkan juga hidup sehari-hari
masyarakat. Konsep-konsep postmodern bahkan bukan hanya diterima tetapi
populer: sangat menyenangkan menjadi seorang postmodern. Akibatnya, para
kritikus kebudayaan dapat berbicara mengenai "nikmatnya menjadi seorang
postmodern." Ketika postmodernisme diterima sebagai bagian dari
kebudayaan, lahirlah postmodernitas.
PENCETUS
POSTMODERNITAS
Antara tahun 1960 dan
1990, postmodernisme muncul sebagai sebuah fenomena kebudayaan. Mengapa?
Bagaimana kita menjelaskan munculnya etos ini dalam masyarakat kita? Banyak
pengamat menghubungkan transisi ini dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat pada paruh kedua dari abad ke-20. Faktor pencetus terbesar
adalah lahirnya era informasi. Penyebaran postmodernisme sejajar dan bergantung
kepada transisi ke era informasi.
Banyak sejarahwan
menyebut era modern sebagai "era" industrialisasi, karena era ini
didominasi oleh produksi barang-barang. Karena fokusnya pada produksi
material-material, modernisme menghasilkan masyarakat industri. Simbolnya
adalah pabrik. Sebaliknya era postmodern mengarahkan fokus kepada informasi.
Kita sedang menyaksikan sebuah transisi dari masyarakat industri ke masyarakat
informasi. Simbolnya adalah komputer.
Statistik kerja
membuktikan bahwa kita sedang mengalami perubahan dari masyarakat industri
kepada masyarakat informasi. Pada era modern, mayoritas lapangan pekerjaan
terbuka dalam bidang produksi barang. Pada tahun 1970-an, hanya 13% dari
buruh-buruh di Amerika bekerja dalam produksi barang; 60% bekerja dalam bidang
informasi. Pelatihan untuk karir yang berkaitan dengan informasi - baik
prosesor data maupun konsultan - menjadi sangat penting.
Masyarakat informasi
menghasilkan sekelompok orang baru. Ploretariat telah menyerahkan tempatnya
kepada "cognitariat." Dan untuk bisnis, munculnya masyarakat
postmodern berarti perubahan dari model "sentralisasi" kepada model
"network." Struktur hirarki dalam pengambilan keputusan diganti
dengan keputusan bersama.
Era informasi bukan
hanya mengubah pekerjaan kita tetapi juga menghubungkan seluruh belahan dunia.
Masyarakat informasi berfungsi berdasarkan jaringan komunikasi yang meliputi
seluruh muka bumi. Efisiensi sistem tersebut sangat mengejutkan. Pada masa
lalu, informasi tidak secepat perjalanan manusia. Tetapi sekarang informasi
dapat mengalir ke seluruh dunia secepat cahaya. Yang lebih mengagumkan lagi
adalah kemampuan era postmodern untuk mendapatkan informasi dari mana saja
secara cepat.
Karena sistem
komunikasi global yang begitu canggih, kita dapat mengetahui peristiwa apa saja
di mana saja di dunia ini. Kita sedang menghuni sebuah desa global.
Munculnya desa global
menghasilkan dampak yang kontradiktif. Budaya massal dan ekonomi global yang
dihasilkan era informasi berusaha menyatukan dunia menjadi "McWorld."
Ketika planet ini menyatu pada satu sisi, saat yang sama ia hancur berantakan
pada sisi lainnya. Munculnya postmodernisme menghasilkan kesadaran global dan
menipiskan nasionalisme.
Nasionalisme semakin
suram dengan munculnya gerakan menuju "retribalisasi," menuju
loyalitas kepada lingkungan lokal seseorang. Ini bukan hanya terjadi di Afrika
tetapi juga di Kanada. Kanada berkali-kali terancam oleh disintegrasi antara
kelompok berbahasa Perancis di propinsi Quebec dan propinsi-propinsi di sebelah
barat. Orang-orang sedang mengikuti motto: "Berpikirlah secara global,
bertindaklah secara lokal."
Munculnya masyarakat
informasi memberikan dasar berpijak bagi etos postmodern. Hidup di desa global
menyadarkan penduduknya mengenai keanekaragaman budaya di bumi ini. Kesadaran
ini memaksa kita mengadopsi pola pikir pluralisme. Pola pikir ini bukan hanya
bersikap toleran kepada kelompok lain, tetapi ia menegaskan dan merayakan
keanekaragaman. Perayaan keanekaragaman budaya menuntut gaya baru -
eklektisisme - gaya postmodernitas.
Masyarakat informasi
telah menyaksikan perubahan besar dari poduksi massal kepada produksi segmen.
Produksi barang-barang yang sama telah berubah menjadi produksi barang-barang
yang beraneka ragam. Kita berada pada "budaya citarasa" yang
menawarkan berbagai macam gaya yang tidak ada habisnya. Dulu siswa-siswi SMP
dan SMU hanya memiliki tren suka-olahraga dan malas-belajar, sekarang mereka
dapat mengadopsi tren apa saja sesuai cita-rasa dan gaya yang mereka sukai.
ALAM POSTMODERNISME
TANPA TITIK PUSAT
Ciri khas
postmodernisme adalah tidak adanya titik pusat yang mengontrol segala sesuatu.
Meskipun postmodern dalam masyarakat bermacam-macam bentuknya, mereka sama-sama
sepakat bahwa tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi standar umum
yang dapat dipakai mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya
hidup tertentu. Lenyaplah sudah usaha mencari sumber otoritas pusat. Lenyaplah
sudah usaha untuk mencari kekuasaan yang absah dan berlaku untuk semua.
Titik pusat sudah
bergeser, masyarakat kita seperti kumpulan barang- barang yang beraneka ragam.
Unit-unit sosial yang lebih kecil hanya disatukan secara geografis.
Filsuf postmodern,
Michel Foucault, menawarkan sebuah usulan nama bagi dunia tanpa titik pusat,
yaitu "heterotopia." istilah Foucault menggarisbawahi perubahan besar
yang sedang kita alami. Keyakinan Pencerahan akan suatu kemajuan ayng
terus-menerus melahirkan visi modernisme. Arsitek modernisme berusaha membangun
sebuah bangunan masyarakat yang sempurna. Kasih, keadilan, dan perdamaian akan
memerintah masyarakat tersebut. kaum postmodern membuang jauh-jauh impian
kosong tersebut. Mereka hanya menawarkan keanekaragaman yang tak terhitung
banyaknya, "multiverse" telah menggantikan model "universe"
dari modernisme.
POSTMODERNISME SEBAGAI SEBUAH FENOMENA KULTURAL
"Lenyapnya titik
pusat" yang dipopulerkan oleh etos postmodern merupakan ciri utama situasi
masa kini. Ini nampak jelas dalam kehidupan kultur masyarakat kita. Seni telah
mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan modern menjadi postmodern.
POSTMODERN MERAYAKAN
KEANEKARAGAMAN
Ciri utama budaya
postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan pluralisme ini, para seniman
postmodern mencampurkan berbagai komponen yang saling bertentangan menjadi
sebuah karya seni. Teknik seni yang demikian bukan hanya merayakan pluralisme,
tetapi merupakan reaksi penolakan terhadap dominasi rasio melalui cara yang
ironis. Buah karya postmodernisme selalu ambigu (mengandung dua makna).
Kalaupun para seniman ini menggunakan sedikit gaya modern, tujuannya adalah
menolak atau mencemooh sisi-sisi tertentu dari modernisme.
Post-modernisme
adalah campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Post-Modernisme adalah
kelanjutan dari modernisme, sekaligus melampaui modernisme. Ciri khas
karya-karyanya adalah makna ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan
terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas sangat memadai bagi
pluralisme.
Charles Jencks, What
is Post-Modernisme? 3d ed. (New York: St Martin's Press, 1989), hal. 7
Salah satu tehnik
campuran yang sering digunakan adalah "collage". "Collage"
menawarkan suatu cara alamiah untuk mencampurkan bahan-bahan yang saling
bertentangan. "Collage" menjadi wahana kritik postmodern terhadap
mitos pengarang/seniman tunggal. Teknik lainnya adalah "bricolage",
yaitu: penyusunan kembali berbagai objek untuk menyampaikan pesan ironis bagi
situasi masa kini.
Seniman postmodern
menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu eklektisisme yang diambil
dari berbagai era dalam sejarah. Seniman umumnya menganggap cara demikian harus
ditolak karena menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus
tersebut menyalahkan gaya postmodern karena tidak ada ke dalaman atau keluasan,
melanggar batas sejarah hanya demi memberikan kesan untuk masa kini. Gaya dan
historis dibuat saling tumpang tindih. Mereka mendapatkan postmodernisme sangat
kurang dalam orisinalitas dan tidak ada gaya sama sekali.
Namun ada prinsip
lebih mendalam yang ditampilkan melalui ekspresi budaya postmodernisme. Maksud
dan tujuan karya-karya postmodernisme bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya
postmodern berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang
pengarang/pelukis asli yang merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka
berusaha menghancurkan ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan
menggantikannya dengan budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud
tersebut, para seniman ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam
gaya yang saling bertentangan dan tidak harmonis. Teknik ini - yang mencabut
gaya dari akar sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha
meruntuhkan sejarah.
Seniman-seniman
postmodern sangat berpengaruh bagi budaya Barat masa kini. Pencampuran gaya,
dengan penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan kepada rasionalitas
menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini semakin terbukti dalam banyak ekspresi
kebudayaan lainnya.
ARSITEKTUR POSTMODERN
Modernisme
mendominasi arsitektur (juga bidang lainnya) sampai pada tahun 1970-an. Para
arsitek modern mengembangkan gaya yang terkenal dengan International style
(gaya internasional). Arsitektur modern mempunyai keyakinan kepada rasio
manusia dan pengharapan untuk menciptakan manusia idaman.
Berdasarkan prinsip
tersebut, arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sesuai dengan prinsip
kesatuan (unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia
mengatakan bangunan-bangunan modern harus merupakan sebuah kesatuan organis.
Bangunan harus merupakan "kesatuan yang agung" (one great thing) dan
bukan kumpulan "bahan yang tidak agung" (little things). Sebuah
bangunan harus mengekspresikan makna tunggal.
Karena memegang
prinsip kesatuan, arsitektur modern mempunyai ciri khas "univalence."
Bangunan-bangunan modern menunjukkan bentuk yang sederhana dan ini nyata dari
pola glass-and-steel boxes. Arsitektur mencari bentuk sederhana yang dapat
menyampaikan sebuah makna tunggal. Cara yang digunakan adalah
"repetisi"(pengulangan). Karena mereka juga hendak sempurna dalam
geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model "dunia lain."
Arsitektur modern
berkembang dan menjadi arus yang dominan. Ia memajukan program industrialisasi
dan menyingkirkan aneka ragam corak lokal. Akibatnya ekspansi arsitektur modern
sering menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan semua
bangunan tradisional dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat yang merupakan
cetusan jiwa modern untuk "maju"(progress).
Beberapa arsitek
modern belum puas jika perubahan hanya dalam bidang arsitektur. Mereka ingin
agar perubahan dalam bidang arsitek, terjadi juga dalam bidang-bidang seni,
ilmu pengetahuan, dan industri.
Mari bersama-sama
kita bayangkan, pikirkan, dan ciptakan sebuah struktur masa depan baru yang
meliputi bidang arsitektur, seni pahat, seni lukis, sebagai sebuah kesatuan.
Suatu hari semua ini akan menjulang sampai ke langit melalui tangan
berjuta-juta seniman. Ini menjadi keyakinan baru seperti sebuah kristal.
Walter Gropius,"
Programme of the staatloches Bauhaus in Weimar" (1919), dalam Programmes
and Manifestos on Twentieth-Century Architecture,ed. Ulrich Conrads, terj.
Michael Bullock (London: Lund Humphries, 1970), Hal. 25.
Arsitektur postmodern muncul sebagai reaksi terhadap
arsitektur modern. Postmodern merayakan sebuah konsep "Multivalence"
(melawan "univalence" dari modernisme). Arsitektur postmodern menolak
tuntutan modern di mana sebuah bangunan harus mencerminkan kesatuan. Justru
sebaliknya buah karya postmodern berusaha menunjukkan dan memperlihatkan gaya,
bentuk, corak, yang saling bertentangan.
Penolakan terhadap
arsitektur modern nampak jelas dalam beberapa contoh. Misalnya, arsiterktur
postmodern sengaja memberikan ornamen (hiasan). Ini merupakan lawan dari
arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Contoh
lain, arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik dan gaya seni
tradisional, sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni
tradisional.
Penolakan oleh
postmodern terhadap modern di dasarkan kepada sebuah prinsip. Prinsip
arsitektur postmodern adalah semua arsitektur bersifat simbolik. Semua
bangunan, termasuk banguan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa
tertentu. Karena terlalu memikirkan fungsi banyak arsitek modern menyingkirkan
dimensi tersebut. Justru karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya
seni modern hanya, merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik.
Dimensi artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur
bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu kisah atau
melambangkan suatu dunia imajiner. Karena terlalu menekankan fungsi. keajaiban
dunia seperti bangunan Katedral masa silam tidak lagi populer pada zaman
modern. Padahal bangunan seperti Katedral mengarahkan mata kita kepada suatu
dunia lain. Ini yang dikritik oleh kaum postmodern terhadap kaum modern.
Sebuah bangunan
mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkannya, mengatakan apa yang
ingin dikatakannya sehingga telinga kita mulai mendengar apa yang ingin
disampaikan oleh bangunan tersebut.
Charles Moore, dalam
Conversations with Architecs, ed. John Cook Heeinrich dan Klotz (New York:
Praeger, 1973), hal. 243.
Kaum Postmodern
berusaha mengembalikan elemen "fiksi" dari sebuah arsitektur maka
mereka menambahkan ornamen-ornamen pada arsitektur. Mereka ingin agar bidang
arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan "apa fungsinya?"
Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan "bangunan-bangunan
yang kreatif dan imajinatif."
Kritik postmodern
terhadap modern semakin menjadi-jadi. Kaum modern menekankan adanya
universalitas dan adanya nilai-nilai yang tidak terbatas sejarah, dan ini
ditolak secara tegas oleh kaum postmodern. Selama ini kaum kodern menganggap
karya-karya mereka sebagai hasil rasio dan logika. Padahal kaum postmodern
melihat dengan jelas semuanya itu hanyalah usaha mendapatkan kekuasaan dan
menguasai orang lain. Bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Bangunan-bangunan
modern menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri.
Bentuk-bentuk demikian mewujudkan dunia baru yang dikuasai sains dan teknologi.
Kaum postmodern mau
melenyapkan bahasa kekuasaan tersebut. Kaum modern menekankan konsep kesatuan
dan keseragaman (uniformity) arsitektur yang ternyata sangat tidak manusiawi.
Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Kaum
postmodern menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin
menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai keanekaragaman dan pluralisme.
POSTMODERN DALAM
BIDANG SENI
Arsitektur postmodern
lahir sebagai penolakan terhadap prinsip-prinsip arsitektur modern pada abad
ke-20. Kehadiran postmodern dalam bidang seni juga menampakkan gejala penolakan
yang serupa.
Arsitektur modern
tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement Greenberg
menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum
modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain
dari dirinya; dengan cara ini, para seniman modern mengatakan bahwa hasil karya
seni mereka bersifat "murni" (orisinal). Kecenderungan modern dalam
bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu: "univalence".
Melalui ini, kebanggaan seniman modern hanyalah jika mereka mempunyai
"stylistic integrity" (integritas gaya).
Sebaliknya seni
postmodern berangkat dengan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan
milik orang lain. Karena itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya
atau "multivalence". Kalau modern menyukai "murni." maka
postmodern menyukai "tidak murni."
Pada dasarnya seni
postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi berbauran (sintetis). Karya seni
tersebut dengan bebas memasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan
pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan
pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti
sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons.
Howard Fox,
"Avant-Garde in the Eighties", dalam The Post-Avant- Garde: Painting
in the Eighties, ed. Charles Jencks (London: Academy Editions, 1987), hal.
29-30.
Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman
dengan teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai
adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki
"Aristoteles tukang campur") menegaskan collage sebagai bentuk utama
dari wacana postmodern. Perlahan namun pasti, "collage" menarik para
pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut.
Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya
tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni
untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya.
Akhirnya seni
pencampuradukan menjadi sebuah "pastiche". Tujuan teknik ini (yang
digunakan oleh high-culture dan Video MTV) adalah memperhadapkan para penonton
dengan gambar-gambar yang saling bertentangan sehingga tidak ada lagi makna
objektif. Dengan pola yang saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan
tata huruf yang kacau, "pastiche" menyebar dari dunia seni menuju
kehidupan sehari- hari. Ini nampak dari sampul buku, sampul majalah, dan
iklan-iklan yang ada.
Segala campuran dan
keanekaragaman itu bukan hanya untuk menarik perhatian. Daya tarik sebenarnya
tidak sedangkal itu, namun jauh lebih dalam. Ini merupakan bagian dari sikap
postmodern, yaitu: menantang kekuatan modernisme yang ada dalam berbagai
lembaga, tradisi, dan aturan. Seniman postmodern tidak suka kepada
pengagung-agungan seorang seniman modern karena kemurnian hasil karyanya.
Mereka tidak suka kepada apa yang disebut "stylistic integrity"
(integritas gaya). Bagi mereka, tidak ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka
sengaja menggunakan metode pinjaman dari hasil karya lain, kutipan, petikan,
kumpulan, dan pengulangan dari karya-karya yang ada. bagi mereka, "seniman
tunggal yang menghasilkan karya tunggal" hanyalah dongeng belaka.
Kritik postmodern
sangat radikal. Kritik tersebut dapat ditemukan dalam karya fotografi seorang
bernama Sherrie Levine. Levine memfoto ulang foto-foto indah hasil karya dua
fotografer terkenal Walker Evans dan Edward Weston. Setelah memfoto ulang,
Levine menegaskan bahwa foto- foto itu adalah karya pribadinya. Pembajakannya
sangat jelas sehingga orang lain tidak mudah mengecapnya sebagai plagiat
(pengekor) biasa. Memang tujuannya bukanlah menipu orang-orang dengan
mengatakan bahwa itu adalah hasil karyanya dan bukan hasil karya orang lain.
Tujuan utamanya adalah membuat orang berfikir keras untuk membedakan manakah
"yang asli" dan manakah yang "tiruan". Maka kesimpulannya:
tidak ada perbedaan antara "karya asli" dan "karya tiruan."
POSTMODERN DALAM
BIDANG TEATER
Teater adalah wujud
penolakan postmodern terhadap modern yang paling jelas. Kaum modern melihat
jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat waktu dan ide-ide yang
tidak dibatasi waktu. Etos postmodern menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada
dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini seperti sebuah
kumpulan cerita sandiwara yang terpotong-potong. Maka teater adalah sarana
terbaik untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan.
Tidak setiap karya
teater merupakan wujud nyata etos postmodern. Karya teater postmodern mulai
timbul pada tahun 1960-an. Akarnya sudah ada sebelum tahun 1960-an, yaitu karya
seorang penulis Perancis bernama Antonin Artaud pada tahun 1930-an.
Artaud menantang para
seniman (khususnya dalam bidang drama) untuk memprotes dan menghancurkan
pemujaan kepada karya seni klasik. Ia sangat mendukung pergantian drama
tradisional dengan 'teater keberingasan." Ia berseru agar dihapuskannya
gaya kuno yang berpusat kepada naskah. Ia mengusulkan gaya baru yang berpusat
kepada simbol- simbol teater termasuk di dalamnya adalah: pencahayaan, susunan
warna, pergerakan, gaya tubuh, dan lokasi. Artaud juga meniadakan perbedaan
antara aktor dan penonton. Ia ingin agar penonton juga mengalami suasana
dramatis seperti sang aktor. Tujuan Artaud adalah memaksa penonton untuk
berhadapan dengan momentum kenyataan hidup secara langsung pada saat itu, yang
bagaimanapun juga tidak akan terulang melalui aturan-aturan sosial sehari-hari.
Pada tahun 1960-an,
sebagian impian Artaud menjadi kenyataan. Para ahli mulai memikirkan kembali
hakikat dari teater. Maka mereka menyerukan agar terdapat kebebasan dalam
penampilan. Penampilan tidak boleh diatur oleh otoritas apa pun.
Beberapa ahli ini
menemukan bahwa naskah atau teks adalah otoritas yang menindas kebebasan. Untuk
memecahkan masalah ini, mereka mengurangi naskah atau teks sehingga setiap
penampilan menjadi spontan dan unik. Setelah beberapa sekali ditampilkan, tidak
ada lagi pengulangan. Penampilan itu sekali saja dan akan hilang selama-lamanya
setelah itu.
Ahli lainnya
menganggap sutradara adalah orang yang menindas kebebasan penampilan. Mereka
berusaha memecahkan masalah ini, dengan menekankan improvisasi dan memakai
sutradara lebih dari satu orang. Maka produksi teater/film bukan lagi produksi
tunggal dan utuh.
Teater postmodern
menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka membuat berbagai elemen
dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa, latar-belakang, dan gerakan
saling berbenturan. Dengan demikian, teater postmodern sedang menggunakan teori
tertentu yang disebut dengan estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika
kehadiran). Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang
mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang ada dalam setia penampilan
adalah kekosongan ("empty presence"). Seperti etos postmodern, makna
sebuah penampilan hanya bersifat sementara, tergantung dari situasi dan
konteksnya.
Panggung teater tidak
lagi menjadi tempat pengulangan suatu peristiwa atau suatu obyek, entah yang
ada sekarang atau sebelumnya. Teater tetap berfungsi tanpa kehadiran Allah.
Jacques Darrida, Writing and Difference, terj: Alan
Bass (Chicago: Chicago University Press, 1978), hal. 237.
POSTMODERN DALAM
BIDANG TULISAN-TULISAN FIKSI
Pengaruh etos
postmodern dalam literatur sulit dicari. Para ahli sastra terus berdebat
mengenai ciri utama fiksi postmodern yang membedakannya dari fiksi-fiksi
sebelumnya. Namun gaya penulisan ini mencerminkan ciri utama yang telah kita
saksikan dalam bidang-bidang lain.
Seperti gaya
postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik
pencampuradukan. Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan
mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai
topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan
kejadian nyata dan khayalan.
Pencampuradukan ini
terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern
memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala perilakunya.
Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata
dalam sejarah manusia. Dengan cara ini, sang penulis berhasil menarik perhatian
dan respons emosional dan moral para pembaca.
Beberapa penulis
postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang khayal dengan menyisipkan diri
mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka pun turut membicarakan berbagai
masalah dan proses yang diceritakannya. Melalui ini, sang penulis mencampurkan
yang nyata dan yang fiksi. Teknik ini menekankan hubungan yang erat antara
penulis dan tulisan fiksinya.
Tulisan fiksi adalah
sarana yang dipakai oleh penulis untuk berbicara sehingga suara penulis tidak
dapat dipisahkan dari kisah fiksi tersebut. Tulisan fiksi postmodern
mencampuradukan dua dunia yang tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia
tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa
bingung di dunia mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya di
tengah dunia- dunia yang saling bertubrukan.
Teknik
pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti- modernisme. Tujuan
para penulis modern adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum
postmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat berbeda,
dapat berjalan dan saling bercampur.
Seperti kebudayaan
postmodern lainnya, tulisan-tulisan ini memusatkan perhatian kepada kefanaan
dan kesementaraan. Mereka menolak konsep kebenaran kekal dari kaum modern.
Tulisan fiksi ini sengaja mengarahkan fokus kepada kesementaraan agar para
pembaca tidak lagi melihat dunia ini dari titik puncak yang tidak terbatas oleh
waktu. Mereka ingin agar para pembaca menyaksikan sebuah dunia yang hampa,
tanpa adanya hal-hal yang kekal dan selalu berada dalam gelombang kesementaraan.
Dan perlukah kita
berkata bahwa semakin jelas sang penulis menyatakan dirinya sendiri dalam
teks-teks yang dia buat, secara paradoks juga makin tidak terelakan adanya
kenyataan bahwa sang penulis tersebut, sebagai sebuah suara, hanyalah sebuah
fungsi dari fiksinya sendiri, sebuah bangunan retorika, bukan seorang yang
berotoritas tetapi justru menjadi obyek dan sasaran penafsiran pembaca?
David Lodge,"Mimesis and Diegesis in Modern
Fiction," dalam The Post-Modern Reader, ed. Charles Jencks (New York: St.
Martin's Press,1992), hal. 194-195.
Kadang-kadang para
penulis tersebut menciptakan efek serupa dengan memasukkan bahasa yang
membongkar struktur pikiran yang sudah baku. Mereka juga menolak rasio sebagai
hakim yang memutuskan apakah sebuah cerita mampu memaparkan kejadian nyata.
Contoh umum dari
fiksi modern adalah kisah detektif. Katakanlah cerita mengenai seorang detektif
bernama Sherlock Holmes. Ia bertugas membongkar kebenaran-kebenaran yang
tersembunyi. Kisah seperti ini hendak menunjukkan kekuatan rasio dan logika
dalam memecahkan sebuah masalah atau misteri. Maka cerita ini merupakan sebuah
cerita yang lengkap dan selesai.
Contoh dari fiksi
postmodern adalah kisah mata-mata. Meskipun terjadinya dalam dunia nyata, kisah
demikian selalu mencampurkan dua macam dunia yang berbeda. Apa yang dianggap
nyata, ternyata terbukti hanyalah khayalan. Ada suatu dunia lain di balik dunia
nyata ini, yang lebih jahat namun lebih nyata daripada dunia nyata.
Dengan mencampurkan
dua macam dunia itu, kisah tersebut membuat pembaca merasa tidak tenang dan
tidak nyaman. Apakah penampilan seseorang menunjukkan dirinya yang
sesungguhnya? Manakah yang sebenarnya dan manakah yang tipuan?
Kisah mata-mata
mendorong kita mempertanyakan dunia kehidupan kita. Apakah kita juga hidup
dalam dua macam dunia? Apakah orang-orang di sekitar kita benar-benar seperti
penampilan mereka di hadapan kita? Apakah peristiwa-peristiwa di sekitar kita
benar-benar seperti yang nampak di depan mata kita?
Novel fiksi sains
adalah salah satu bentuk sastra postmodern. Novel ini merupakan penolakan
terhadap penelitian modern. Novel fiksi ini lebih suka mencari sesuatu yang
baru, dan bukan menyibak misteri alam untuk menemukan rumus-rumus pasti. Novel
ini mempertentangkan berbagai dunia dan realitas supaya nampak perbedaan dan
pertentangan di antara mereka.
Novel fiksi sains
tersebut membuat kita bertanya-tanya mengenai dunia kita: Apakah realitas itu?
Apa yang mungkin? Kekuatan apa yang sedang bekerja sekarang?
POSTMODERNISME SEBUAH FENOMENA DALAM BUDAYA POP
Kebanyakan dari kita
berhubungan langsung postmodernisme melalui novel fiksi sains dan novel
mata-mata. Keduanya sangat berpengaruh dalam budaya populer kita sekarang.
Namun secara tidak sadar, kita telah terbuka kepada etos postmodern.
Keterbukaan kepada
etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas postmodern. Ciri khas
lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni klasik tinggi" di atas
budaya "pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukan kelas elite
tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan
media massa.
Hasil karya
postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan sebuah bahasa dan
menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh orang-orang awam ataupun
seniman dan arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil
menyatukan dua alam yang berbeda, yaitu profesional dan populer.
PEMBUATAN FILM
SEBAGAI DASAR PIJAKAN BUDAYA POSTMODERN
Perkembangan
teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi- sisi penting dan budaya
pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film.
Teknologi pembuatan
film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni: film menggambarkan yang tidak
ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film adalah sebuah cerita utuh yang
ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa
teknologi dengan bantuan ahli-ahli spesialis dari berbagai bidang yang tidak
jarang kelihatan dalam film. Adanya kesatuan dalam sebuah film sebenarnya
adalah ilusi.
Film berbeda dengan
teater. Film tidak pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris sekaligus
secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat
"berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan dalam
proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik secara
waktu maupun tempat.
Alur cerita sebuah
film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan" atau
"berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang diambil
pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Alur sebuah film yang kita lihat, ternyata
tidak seperti demikian alurnya pada waktu film berada dalam proses pembuatan
tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu adalah seorang
editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang tidak ada hubungannya satu
sama lain.
Kadang-kadang peran
yang sama belum tentu diperankan oleh satu aktor. Sutradara sering menggunakan
peran pengganti (stunt-man) untuk adegan- adegan berbahaya. Kemajuan teknologi
memungkinkan edit untuk menduplikasi wajah sang aktor sehingga wajahnya dalam film
lama dapat diambil dan dimasukkan dalam film yang baru. Semuanya ini adalah
hasil rekayasa komputer.
Akhirnya, film yang
kita tonton adalah produk kecanggihan teknologi. Tim-tim yang berbeda
menggunakan fotografi dan metode lainnya untuk mengumpulkan bahan-bahan.
Bahan-bahan ini digabungkan oleh editor untuk menghasilkan apa yang nampak
sebagai "kesatuan" di depan mata penonton. Berbeda dengan teater,
kesatuan dan kesinambungan sebuah film adalah jasa teknologi, dan bukan jasa
aktor-aktornya.
Karena kesatuan
sebuah film terletak dalam teknik pembuatannya, maka sutradara dan editor
mempunyai kebebasan untuk mengatur dan memanipulasi jalannya cerita dengan
berbagai cara. Mereka dapat mencampurkan adegan-adegan yang tidak saling
berhubungan tanpa harus mengorbankan kesatuan film itu.
Pembuat film
postmodern senang mengubah konsep tempat dan konsep waktu menjadi di sini dan
kini selamanya. Usaha mereka dalam hal ini dipacu oleh banyaknya film yang
telah diproduksi sebelumnya sehinga mereka mempunyai bahan untuk
mencampurkannya. Misalnya: adegan Humphrey Bogart dalam film "The Last
Action Hero" dan Groucho Marx dalam iklan Diet Pepsi. Kemajuan teknologi
memungkinkan penggabungan keduanya, penggabungan "dunia nyata" dengan
kenyataan lain. Contoh lain adalah penggabungan tokoh kartun dan tokoh manusia
dalam film "Who Framed Roger Rabbit?"
Kemampuan seorang
sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi sebuah film yang utuh,
memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan dongeng,
kenyataan dan khayalan. Sutradara- sutradara postmodern menggunakan kesempatan
ini untuk mewujudnyatakan etos postmodern. Misalnya, film-film postmodern
membuat film fiksi dan fantasi seperti layaknya kejadian nyata (film
"Groundhog Day"). Mereka menggabungkan kisah film fiksi dengan aspek
dokumenter (film "The Gods Must Be Crazy"). Mereka mencampurkan
sebagian catatan sejarah dengan spekulasi dan mencampurkan dunia-dunia yang
tidak berhubungan yang dihuni oleh tokoh-tokoh yang tidak jelas majakah yang
asli (film "Blue Velvet").
Hidup dalam era
postmodern berarti hidup di dalam dunia yang menyerupai film. Sebuah dunia dimana
kebenaran dan dongeng bercampur. Kita melihat dunia sama seperti kita melihat
film, dan kita curiga apakah yang kita lihat hanyalah sebuah ilusi. Kita dapat
memahami sesuatu dalam pikiran sang sutradara. Ia mengajak kita melihat sesuatu
yang sering terabaikan/terlupakan dalam dunia yang film itu gambarkan.
Sebaliknya ketika melihat dunia sebenarnya, kaum postmodern tidak lagi percaya
adanya sebuah Pikiran di baliknya.
TELEVISI DAN
PENYEBARAN BUDAYA POSTMODERN
Teknologi pembuatan
film memberikan dasar pijakan untuk budaya pop postmodern. Namun televisi
merupakan sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan etos postmodern ke
seluruh lapisan masyarakat.
Dilihat dari satu
sisi, televisi hanyalah saranan yang efektif untuk menantikan turunnya film
dari bioskop ke televisi. Banyak program televisi yang isinya hanya film-film,
mulai dari yang pendek sampai miniseri. Televisi adalah sebuah sarana yang
digunakan oleh film-film untuk menyerbu kehidupan sehari-hari jutaan orang.
Sejauh ini, televisi hanyalah perpanjangangan tangan dari industri film.
Tetapi lepas dari
hubungan dengan film, televisi memperlihatkan ciri khasnya sendiri. Dalam
banyak hal, televisi jauh lebih fleksibel daripada film. Televisi melampaui
film dengan menyajikan siaran langsung. Kamera televisi dapat menayangkan
gambar kejadian langsung kepada pemirsa di seluruh belahan dunia.
Kemampuan untuk
menyiarkan secara langsung membuat orang percaya bahwa televisi menyajikan
peristiwa aktual yang benar-benar terjadi, tanpa adanya penafsiran, edit, atau
komentar. Karena inilah televisi telah menjadi kriteria untuk membedakan yang
nyata dan tidak. Banyak pemirsa tidak menganggap penting banyak hal. Tetapi
jika CNN, Sixty Minutes menayangkannya, mereka akan segera merasa hal tersebut
penting. Segala sesuatu tidak penting jika tidak ditayangkan televisi.
Televisi mampu
menayangkan fakta secara langsung dan mampu menyebutkan produksi-produksi film.
Kemampuan ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu
mencampurkan "kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai kejadian
nyata) dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai khayalan
yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan). Film tidak dapat melakukan ini.
Televisi masa kini melakukan hal tersebut terus-menerus. Ketika ada siaran
langsung, di tengah-tengah siaran itu selalu diputus oleh "pesan dari
sponsor."
Televisi melampaui
film untuk mewujudkan etos postmodern. Televisi komersil menyajikan berbagai
gambar kepada permirsa. Berita sore akan menghantam penonton dengan
gambar-gambar yang tidak saling berhubungan: perang di suatu daerah terpencil,
pembunuhan di dekat rumah, ucapan dari seorang politikus, skandal seks terbaru,
penemuan ilmiah baru, berita olahraga. Campuran-campuran ini disisipkan dengan
iklan baterai yang tahan lama, sabun mandi yang lebih bersih, makan pagi yang
lebih sehat, dan liburan yang lebih menyenangkan. Dengan menampilkan berbagai
gambar tersebut (berita dan iklan), televisi menciptakan kesan bahwa berita dan
iklan sama pentingnya.
Siaran berita diikuti
oleh program-program utama yang terlalu banyak untuk menarik dan membuat
pemirsa bertahan. Maka isi program-program tersebut adalah film laga, skandal,
kekerasan, dan seks. Drama-drama malam hari mempunyai bobot yang sama dengan
berita sebelumnya. Dengan cara ini, televisi melenyapkan perbedaan antara kebenaran
dan fiksi, antara peristiwa yang benar-benar memilukan hati dan peristiwa
sepele.
Ini terjadi bukan
hanya pada satu saluran televisi, tetapi berpuluh bahkan ratusan saluran yang
berbeda-beda. Hanya dengan sebuah remote control di tangan, seseorang dapat
memilih apa pun yang ia suka, mulai dari berita terbaru, pertandingan tinju,
laporan ekonomi, film kuno, laporan cuaca, film komedi, film dokumenter, dan
sebagainya.
Dengan menawarkan
begitu banyak campuran gambar, secara tidak sengaja televisi menyejajarkan
hal-hal yang tidak saling cocok. Televisi membutuhkan kejelasan waktu dan
tempat. Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yang
dekat, segala sesuatunya di- bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa
televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern:
menghapus batas antara masa lalu dan masa kini; dan menempatkan pemirsa dalam
ketegangan terus-menerus. Banyak pengamat sosial menganggap televisi sebagai
cermin dari kondisi psikologis dan budaya postmodern. Televisi menyajikan
begitu banyak gambar yang tidak berhubungan dengan realitas, gambar-gambar yang
saling berinteraksi terus-menerus tanpa henti.
Film dan televisi
telah di persatukan oleh sebuah alat yang lebih baru - komputer pribadi.
Lenyapnya ego adalah
tanda kemenangan postmodernisme.... Sang diri diubahkan menjadi sebuah tampilan
kosong yang berisi kebudayaan yang telah jenuh namun hiperteknis.
Arthur Kroker,
Marilouise Kroker dan David Cook, "Panic Alphabet", dalam Panic
Encyclopedia: The Definitive Guide to the Postmodern Scene (Montreal: New World
Perspectives, 1989), hal. 16.
Munculnya
"monitor" - layar bioskop, layar kaca televisi ataupun monitor
computer, melenyapkan perbedaan antara diri sebagai subjek dan dunia sebagai
objek. "Monitor" bukan sekadar objek di luar diri kita yang kita
sedang lihat. Yang terjadi dalam monitor bukan sesuatu kejadian di luar sana
dan diri kita di sini. "Monitor" membawa kita ke dunia luar sama
seperti dunia luar masuk ke dalam diri kita. Yang terjadi dalam televisi
merupakan manifestasi diri kita, yang terjadi dalam diri kita adalah penjelmaan
televisi. Televisi telah menjadi sebuah wujud nyata dari jiwa kita.
Hidup dalam era
postmodern berarti hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai gambar yang
bercampur-aduk. Dunia televisi memecahkan gambar-gambar menjadi
potongan-potongan dan kaum postmodern tetap yakin bahwa itu hanyalah campuran
gambar-gambar.
WUJUD-WUJUD LAIN
POSTMOERNISME DALAM BUDAYA POP
Film telah menyajikan
budaya postmodern, dan televisi menyebarkannya , tetapi musik rock merupakan
ciri yang paling khas dari budaya pop postmodern. Lirik lagu-lagu rock
mencerminkan semboyan postmodern. Hubungan antara music rock dan budaya
postmodern lebih mendalam lagi. Musik rock memiliki ciri utama dari postmodern,
yaitu: fokus kepada global dan lokal.
Musik rock
kontemporer mendapatkan banyak penggemar dan mampu menyatukan seluruh dunia.
Tentunya kita ingat dengan tokoh-tokoh musik rock yang melakukan tur keliling
dunia. Pada saat yang sama, musik rock mempertahankan selera lokal. Dalam
penampilan grup-grup rock yang besar maupun yang kecil (tidak terkenal), musik
rock memperlihatkan pluralitas gaya yang diambil dari gaya musik setempat
(lokal dan etnis tertentu).
Yang tidak kalah
penting, musik rock juga menggunakan sarana produksi elektronik sebagaimana
televisi dan film. Dimensi penting dari budaya rock adalah penampilan langsung
dari bintang-bintangnya. Konser musik rock tidak seperti konser tradisional
dimana sang penyanyi berusaha berkomunikasi secara akrab dengan penonton. Yang
terjadi dalam konser musik rock adalah "kedekatan massal yang
dibuat-buat."
Konser rock kini
merupakan peristiwa massal, melibatkan puluhan ribu penggemar. Kebanyakan
penggemar tidak dapat melihat penampilan sang bintang dari dekat. Namun mereka
masih berusaha mengalami pengalaman tersebut. Penampilan tersebut diperlihatkan
kepada mereka melalui banyak layar video yang menyorot wajah sang bintang dari
dekat.
Tehnik ini
menciptakan jarak antara sang bintang dan penonton. Penggemar kelompok rock
Jubilant merasa dekat dengan idola mereka sekalipun hanya lewat layar televisi.
Teknologi mengubah kedekatan dalam sebuah pertunjukkan langsung menjadi
kumpulan ribuan penggemar yang menonton layar video bersama-sama sementara
mereka diserbu dengan berbagai-bagai efek cahaya, suara dan sebagainya.
Teknologi melenyapkan
perbedaan antara penampilan aslinya dan tayangannya di televisi. Teknologi
melenyapkan perbedaan antara penampilan langsung dan duplikasinya dalam musik.
Penampilan langsung bukan lagi realitas yang terdapat dalam konteks khusus. Ia
adalah campuran antara apa yang sang bintang tampilkan dan apa yang teknologi
hasilkan. Penampilan itu dibungkus dalam kemasan teknologi setelah itu baru
disajikan kepada para penggemar.
Wujud etos postmodern
yang lebih sederhana adalah cara berpakaian. Model pakaian postmodern mempunyai
kecenderungan yang mirip dengan budaya pop lainnya. Kita melihat ditonjolkannya
merek dan label produk. Ini melenyapkan perbedaan antara pakaian dan iklan
pakaian.
Wajah postmodern
nampak dalam "bricolage." Berbeda dengan pola pakaian tradisional
yang menyatukan berbagai corak secara harmonis, gaya postmodern sengaja
menggabungkan elemen-elemen yang bertentangan, misalnya: pakaian dan aksesoris
dari 10, 20, 30 dan 40 tahun lalu dipakai bersama-sama.
Percampuran yang
bertentangan tersebut dimaksudkan sebagai sebuah ironi atau ejekan terhadap
model pakaian modern, bahkan terhadap seluruh industri pakaian modern.
Dari musik rock ke
turisme ke televisi sampai ke bidang pendidikan, yang dipromosikan oleh iklan
dan yang dicari oleh konsumen bukan lagi barang-barang, tetapi pengalaman.
Steven Connor,
Postmodernist Culture (Oxford: Basil Blackwell, 1989), hal 154.
Budaya pop zaman kita
mempunyai dua ciri khas postmodern: pluralisme dan anti-rasionalisme. Seperti
nyata dari cara mereka berpakaian dan musik yang mereka dengar, kaum postmodern
tidak lagi percaya kalau dunia mereka mempunyai sebuah fokus. mereka tidak lagi
percaya bahwa rasio manusia dapat menangkap struktur logika alam semesta.
Mereka hidup dalam dunia yang tidak membedakan antara kebenaran dan dongeng.
Akibatnya mereka menjadi pengumpul bermacam-macam pengalaman, gudang yang brisi
berbagai hal sementara, jembatan yang dilintasi bermacam-macam gambar, dan
dihujani dengan aneka ragam media dalam masyarakat postmodern.
Postmodernisme
memiliki asumsi yang bermacam-macam. Ini terbukti dari berbagai sikap dan
ekspresi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan tersebut, kita
menemukan bermacam-macam orang dalam masyarakat. Ekpresinya bervariasi dari
cara berpakaian sampai televisi, termasuk musik dan film di dalamnya.
Postmodernisme menjelma dalam beraneka ragam ekspresi budaya, termasuk
arsitektur, seni, dan sastra. Lebih dari segalanya, postmodernisme adalah
sebuah pemandangan intelektual.
Postmodernisme
menolak gambaran mengenai seorang pemikir tunggal yang dilahirkan oleh
Pencerahan. Postmodern mengejek mereka yang merasa yakin dapat melihat dunia
dari suatu titik puncak seolah-olah mereka dapat berbicara demi kepentingan
seluruh umat manusia. Postmodernisme telah menggantikan cita-cita pencerahan
tersebut dengan keyakinan baru, yaitu: semua pernyataan mengenai kebenaran dan
kebenaran itu sendiri terbatas oleh kondisi sosial.
0 komentar:
Posting Komentar