TATA HUKUM INDONESIA




A.     Pengertian Tata Hukum
Jika kita berbicara hukum, maka hukum dalam bahasa Inggris “Law”, Belanda “Recht”, Jerman “Recht”, Italia “Dirito”, Perancis “Droit”. Hukum hidup dalam pergaulan hidup manusia, seperti kita lihat cerita Robinson Croese yang terdampar di sebuah pulau dimana ia hidup sendiri dan ia dapat berbuat sesuka hatinya tanpa ada yang menghalanginya. Ia tidak butuh hukum, artinya hukum itu baru dibutuhkan dalam pergaulan hidup. Dimana fungsinya adalah
memperoleh ketertiban dalam hubungan antar manusia. Menjaga jangan sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak kehendaknya, dan lain-lain.
Tetapi ada faktor lain selain tata tertib yang terdapat pada hukum yaitu keadilan, suatu sifat khas pada hukum yang tidak terdapat pada ketentuan-ketentuan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata tertib. Jadi hukum itu berkenaan dengan kehidupan manusia, ialah manusia dalam hubungan antar manusia untuk mencapai tata tertib didalamnya berdasarkan keadilan.
Dalam hubungan Hukum dan Negara, baik hukum maupun negara muncul dari kehidupan manusia karena keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib. Sehubungan dengan hal itu mengingat tujuan negara adalah menjaga dan memelihara tata tertib. Di Negara Indonesia seperti kita ketahui bahwa tata hukum di Indonesia ialah hukum yang berlaku sekarang di Indonesia (Ius Constitutum), berlaku disini berarti yang memberikan akibat hukum pada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup, sedangkan sekarang adalah menunjukkan kepada pergaulan hidup yang ada pada saat ini dan bukan pergaulan hidup masa lampau, di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup yang terdapat pada Republik Indonesia dan bukan negara lain. Tata hukum disebut juga Hukum Positif atau Ius Constitutum, sedang hukum yang dicita-citakan adalah Ius constituendum.
Hukum yang berlaku, terdiri dari dan diwujudkan oleh aturan-aturan hukum yang saling berhubungan, dan oleh karena itu keberadaannya merupakan suatu susunan atau tatanan sehingga disebut tata hukum. Suatu masyarakat yang menetapkan tat hukum bagi masyarakat itu sendiri dan tunduk pada tata hukum tersebtu, disebut masyarakat hukum.
Tata Hukum Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia atau oleh negara Indonesia. Oleh sebab itu Tata Hukum Indonesia ada sejak Proklamasi Kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berarti bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru inilah Tata Hukum Indonesia.
Di dalam memorandumnya tertanggal 9 Juni 1966, DPRGR antara lain menyatakan bahwa : Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah detik ‘penjebolan’ tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya ….
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa Proklamasi berarti :
1.        Menegarakan Indonesia, menjadi suatu negara;
2.        Pada saat itu pula menetapkan Tata Hukum Indonesia.
Meskipun kita telah merdeka dan berdaulat dan telah pula dapat merubah sistem dan dasar susunan ketatanegaraan, namun dalam bidang hukum belum mampu mengubah sama sekali hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat. Ketidakmampuan ini diakui negara, yaitu dengan selalu mengadakan peraturan peralihan dalam undang-undang dasarnya (Pasal peralihan adalah pasal yang berisi petunjuk mengenai peralihan dari tata hukum yang lama ke tata hukum yang baru).
Pasal  peralihan yang dimaksud terdapat pada Pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Pada peraturan peralihan ini diharapkan supaya hal-hal atau segala sesuatu yang masih hidup dan terdapat dalam masyarakat boleh dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan keputusan baru yang dibuat, atau dalam tata hukum yang baru belum diatur, maka  perlu dicari peraturan yang mengatur hal tersebut sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi peraturan peralihan ialah mencegah terjadinya kevakuman hukum.
Guna mencegah kekosongan  atau kevakuman itu, dengan melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 diberlakukan peraturan-peraturan yang berasal dari  zaman Hindia Belanda selama tidak bertentangan atau belum dibuat menurut UUD baru.
Namun demikian tidaklah berarti bahwa tata hukum Indonesia adalah kelanjutan dari tata hukum  Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Keadaan demikian pun terjadi pada waktu kita di bawah  Konstitusi RIS maupun di bawah UUD 1950. Dalam kedua konstitusi itu  pun tercantum adanya peraturan peralihan, masing-masing terdapat pada Pasal 192 UUD RIS dan Pasal 142 UUD 1950.
B.      Sejarah Hukum Dan Politik Hukum Indonesia
Seperti diketahui, bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam peraturan perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga terdapat peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara jepang yang masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan Tata Hukum Indonesia tidaklah dapat lepas dari pembahasan sejarah Perkembangan Tata Hukum Indonesia sejak kekuasaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan Penjajahan balatentara Jepang. Berikut ini dibahas secara singkat sejarah perkembangan Tata Hukum Indonesia.
a. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
VOC yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.
Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”.
Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama “Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe Bataviase Statuten” (statuta Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu sistem hukum sendiri dari orang-orang Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.
b.  Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada zaman Hindia belanda adalah:
1) Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga diberlakukan antara lain:
o  Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan.
o  Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)
o  Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
o  Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata.
Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belanda sejak tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.
2) Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3) Indische Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926.
c. Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942 (Osamu Sirei) yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.
            Berlakunya hukum dalam suatu negara ditentukan oleh Politik hukum negara yang bersangkutan, disamping kesadaranan hukum masyarakat dalam negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan politik hukum hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu arti Politik Hukum. Arti Politik Hukum adalah Suatu jalan (kemungkinan) untuk memberikan wujud sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat pula dilihat pendapat Padmo Wahyono bahwa Politik Hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang akan dibentuk. Pendapat dari Teuku Mohammada Radhie, S.H (Prisma No. 6 Thn. ke II Des. 1973) menyatakan; “Adapun politik hukum di sini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak Penguasa  Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan”. Oleh karena itu berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik hukum memiliki tugasnya meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha membuat suatu ius constituendum menjadi ius constitutum atau sebagai penganti ius constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan politik hukum berbeda artinya dengn ilmu politik, sebab ilmu politik memiliki pengertian menyelidiki sampai seberapa jauh batas realisasi yang dapat melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan apa yang dapat dipakai untuk mancapai suatu pelaksanaan yang baik dari cita-cita sosial itu. Politik hukum suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang Dasarnya tetapi dapat pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik Hukum dilaksanakan melalui dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak hukum tertentu. Bentuk hukum itu dapat:
(1) Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu Undang-Undang dan berlaku sebagai hukum positif. Dalam bentuk tertulis ada dua macam yaitu:
a.      Kodifikasi ialah disusunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.
b.      Tidak dikodifikasikan ialah sebagai undang-undang saja.
(2)   Tidak tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan.
Corak hukum dapat ditempuh dengan:
1)      Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
2)      Dualistis yaitu berlakunya dua sistem hukum bagi dua kelompok sosial yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
3)      Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
Di atas telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut ini dibahas Politik Hukum bangsa Indonesia. Keberadaan Hukum di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi oleh keberadaan sejarah hukum. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya undang-undang yang dibuat jaman Hindia Belanda sampai sekarang masih berlaku. Selain itu, masuknya hukum Islam juga mempengaruhi hukum di Indonesia, sebagian permasalahan-permasalahan perdata masih menggunakan hukum Islam. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana politik Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami bagaimana Politik Hukum Indonesia. Keberadaan Politik hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.
Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B). Pada masa berlakunya AB politik hukum Pemerinthan penjajahan Hindia belanda dapat dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya hukum bagi masing-masing golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda di bedakan kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan Pribumi (berserta mereka yang dipersamakan dengannya). Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur didalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 9 AB : “Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang (yang diberlakukan di hindia belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya”.
Pasal 11 AB: “Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya hukum eropa atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukan diri pada hukum eropa”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi golongan Indonesia.
Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum perdataberdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut pasal 11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam pasal 5 hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan dengan orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra.
Pembagian golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga bagi orang-orang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang bumiputra. Tetapi karena pasal 10 AB memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menetapkan peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10, pasal 3 nya Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam lapangan hukum sipil dan hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.
Masa Regering Reglement (R.R.). Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada asasnya seperti tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings Reglement. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 109 RR: “Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa, Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.
Pasal 75 RR: “Menyatakan tetap memberlakukan hukum eropa bagi orang eropa dan hukum adat bagi golongan lainnya”.
Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement.
Sedangkan politik hukum dalam pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.
Masa Indische Staatsregeling (I.S.). Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru). Sedangkan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 163 IS: Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni:
1.        Golongan Eropa
2.        Golongan Bumi Putera
3.        Golongan Timur Asing.
Pasal 131 IS menyatakan beberapa hal yakni :
1.        Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2.        Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.
3.        Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4.        Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila masyarakat menghendaki demikian.
Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS.
Diatas telah dijelaskan politik hukum pada masa penjajahan belanda, dibawah ini akan dijelasakan politik hukum Indonesia setelah merdeka. Di dalam UUD 1945 kita tidak menjumpai satu Pasal pun yang menyebutkan masalah politik hukum negara Indonesia. Tersurat memang tidak ada tetapi tersirat dapat kita jumpai pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lain halnya pada Undang-Undang Dasar 1950, kita dapat menjumpai suatu pasal yang memuat politik hukum negara Indonesia di bawah UUD 1950, yaitu pada pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut: “Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur dengan undang-undang  dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika pengundang-undang tersendiri”.
Dari Pasal 102 UUD 1950 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa negara Indonesia pada waktu  itu menghendaki dikodifikasikannya lapangan-lapangan hukum tersebut, sehingga Pasal 102 ini terkenal dengan sebutan Pasal Kodifikasi.
Setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kita kembali lagi ke UUD 1945 dan UUD 1950 menjadi tidak berlaku,  berarti Pasal 102 ikut tidak berlaku. Sampai tahun 1970-an, berarti telah merdeka selama lebih seperempat abad lamanya, negara Indonesia belum mempunyai rumusan suatu politik hukum nasional. Baru pada tahun 1973 dengan terbentuknya MPR hasil pemilihan umum lembaga tersebut berhasil menetapkan Ketetapannya Nomor IV/MPR/73 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang di dalamnya secara resmi dan tegas kita selalu diperbaharui setiap Pemerintah RI. Dalam hal ini politik hukum kita selalu diperbaharui  setiap lima tahun sekali , pada tahun 1978 tertuang dalam Tap. MPR No. IV, sedang pada periode 1983 terdapat pada Tap MPR/II. Pada periode 1988 terdapat pada Tap. No. II/MPR/1988 dan Tap No. IV/ MPR/1999. Sehubungan dengan  adanya amandemen UUD 1945 yang ke-3 pada pasal yang berbunyi :
(1)   MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
(2)   MPR melantik Presiden dan/atau Wakil
(3)   MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Dari Pasal 3 ini terlihat tidak ada wewenang MPR menetapkan GBHN lagi.
C.      Pembinaan Hukum Nasional
            Setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai hukum nasional di segala bidang hukum. Masalah pembinaan hukum nasional memang segera setelah proklamasi, menarik perhatian banyak sarjana hukum kita, untuk menyalurkan segala kegiatan pembinaan hukum nasional dalam satu wadah. Pada tahun 1956 Perhimpunan Sarjana Hukum Nasional Indonesia telah mengajukan permohonan kepada Perdana Menteri RI agar dibentuk suatu Panitia negara Pembinaan Hukum Nasional. Denga Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 1958, dibentuklah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta dengan diberi tugas: “ Melaksanakan pembinaan hukum nasional dengan tujuan mencapai tata hukum nasional”.
1.        Menyiapkan rancangan-rancangan peraturan perundangan:
a.        untuk meletakkan dasar-dasar tata hukum nasional;
b.        untuk menggantikan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan tata hukum nasional;
c.         untuk masalah-masalah yang belum diatur dalam suatu peraturan perundangan.
2.        Menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan perundangan.
Setelah mempelajari asas-asas hukum yang hidup di kalangan rakyat Indonesia dan mengadakan rapat dengan orang-orang terkemuka dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat, maka lembaga telah berhasil merumuskan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum nasional sebagai berikut:
1.        Dasar Pokok Hukum Nasional Ri adalah Pancasila
2.        Hukum nasional bersifat:
a.      Pengayoman;
b.      Gotong-royong;
c.       Kekeluargaan;
d.      Toleransi;
e.      Anti kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme.
Dengan adanya UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 6, Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas:
a.      Pengayoman;
b.      Kemanusiaan;
c.       Kebangssan;
d.      Kekeluargaan;
e.      Kenusantaraan;
f.        Bhineka Tunggal Ika;
g.      Keadilan;
h.      Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.        Ketertiban dan kepastian hukum;dan/atau
j.        Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
3.        Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.
4.        Selain hukum tertulis berlaku hukum tidak tertulis.
5.        Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis  melalui yurisprudensi ke arah keseragaman hukum yang  seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem parental.
6.        Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara PTUN).
7.        Untuk membangun masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi hukum.
8.        Dalam perkara pidana:
a.        Hakim berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan.
b.        Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang  patut dan adil di samping atau tanpa pidana.
9.        Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga yang bermanfaat bagi masyarakat.
10.    Dalam bidang hukum acara perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan sederhana, cepat, dan murah.
11.    Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang merupakan jaminan kuat untuk mencegah:
a.        Seseorang tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan atau lebih lama dari yang diperlukan.
b.        Penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat-surat dilakukan sewenag-wenang.
Suatu peristiwa yang penting dalam pembinaan hukum nasional adalah penemuan lambang keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita yaitu berupa pohon beringin yang berarti ”pengayoman” oleh Menteri Dr. Sahardjo yang menggantikan simbol dari negara barat yang berupa Dewi Keadilan (Themis) yang dibalut matanya dan memegang di satu tangan pedang dan di tangan lain traju (timbangan).
Jasa beliau yang lain adalah pengganti lembaga penjara menjadi lembaga pemasyarakatan yang lebih sesuai dengan sendi-sendi negara kita yang ber-Pancasila. Jasa beliau juga dalam pemecahan kesulitan yang dihadapi oleh para hakim dalam menerapkan perundangan warisan zaman kolonial yaitu BW dan WvK. Menurut beliau, kedua kodifikasi itu tidak berlaku sebagai Wetboek tetapi hanya sebagai suatu rechtboek, yaitu hanya sebagai dokumen yang menggambarkan suatu kelompok hukum yang harus dipakai oelh hakim sebagai “pedoman” dalam melakukan peradilan.
Pembinaan hukum itu artinya tidak saja membuat yang baru, tetapi juga menyesuaikan hukum yang ada di masyarakat. Pembinaan itu sendiri harus mempunyai suatu pola, dalam hal ini adalah wawasan nusantara.
Di dalam negara Republik Indonesia akan hanya dikenal satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Perlu pula kita ingat bahwa hukum yang akan kita susun adalah hukum yang modern, meningkatkan kemampuan sesuai dengan kebutuhan, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.        Konsentris, artinya satu tangan yang mengatur/membuat (yaitu pengundang-undang).
2.        Konvergen, artinya hukum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan.
3.        Tertulis, untuk lebih menjamin kepastian hukum.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terima kasih untuk materi yg sangat membantu untuk mengenal PHI

Posting Komentar

 
Copyright © HASIL FROM MY LIFE